Authors:Clara Florida da Cunha, Purnama Salura Pages: 1 - 15 Abstract: Abstrak - Setelah diadakan Konsili Vatikan ke-II, Gereja Katolik yang cenderung hangat dengan identitas langgam gotik kini bentuknya semakin beragam karena gereja mulai menerima keragaman dimuka bumi. Bentuk bangunan gereja yang beragam ini tidak memperlihatkan fungsinya sebagai rumah Tuhan. Bentuk gereja ada yang terlihat seperti mall, museum, stadion, dan sebagainya. Sedangkan fungsi utama gereja adalah untuk menampung kegiatan liturgi yang merupakan aktivitas simbolik untuk memuji dan menyembah Tuhan. Aktivitas dalam ruang mempengaruhi kebutuhan ruang, sama halnya dengan aktivitas liturgi yang bergerak secara linear sehingga mempengaruhi bentuk gereja yang linear. Paus Benediktus XVI menjadi khawatir dengan pemudaran makna pada gereja katolik, sehingga membuat kongregasi untuk membahas makna sakralitas pada gereja. Hal ini menjadi penting dibahas untuk melihat makna bentuk Gereja Katolik yang memusat apakah serupa dengan makna gereja yang sesuai dengan aktivitas linearnya. Dengan itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna zonasi liturgi Gereja Katolik Santo Ignatius Loyola dengan pendekatan Spektrum Makna. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif-deduktif. Metode pertama adalah, mengumpulkan data kolektif dengan merekam data objek studi dan membuka bangunan menjadi 3 zona ruang liturgi, yakni Narthex, Nave dan Sanctuary dengan teori property komposisi. Kedua, membuat acuan denah dan ruang liturgi Gereja Katolik dengan pendekatan Martasudjita, Eliade, Hoffman, Jones, dan Barrie. Ketiga, pengumpulan data analisis dengan wawancara triangulasi sumber kepada arsitek, pengguna gereja, dan pengunjung gereja dengan skala semantik. Keempat, menggunakan teori Spektrum Makna untuk mengungkap makna yang terdapat pada tiap zona ruang liturgi. Hasil yang ditemukan adalah makna zonasi liturgi Gereja Santo Ignatius Loyola didominasi pada makna kesepakatan kolektif dengan adanya hubungan sebab-akibat buatan manusia. Makna dari hubungan sebab akibat buatan manusia menciptakan kesepakatan universal sehingga komposisi ruang dan elemen-elemen arsitektur membentuk gereja yang sangat erat dengan makna simbolik yang mendukung kegiatan liturgi dengan baik dan mengungkapkan makna nilai simbolik yang melandasi perayaan iman kegiatan liturgi. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk para arsitek teoritisi maupun praktisi, pengelola gereja, dan masyarakat awam untuk memahami komposisi ruang dan elemen-elemen arsitektural yang membentuk makna arsitektur Gereja Katolik. Kata Kunci: Gereja Katolik, Makna, Bentuk, Liturgi, Spektrum Makna PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6358.1-15 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)
Authors:Laurensius Setiawan, Wulani Enggar Sari Pages: 16 - 30 Abstract: Abstrak - Selubung bangunan menjadi salah satu elemen bangunan yang penting untuk menciptakan kenyamanan termal ruang dalam bangunan karena berinteraksi langsung dengan lingkungan di luar bangunan. Double skin facade merupakan salah satu strategi rancangan selubung bangunan yang tidak hanya dapat digunakan sebagai bagian dari rancangan fasad bangunan tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Seiring perkembangan teknologi, rancangan double skin facade juga semakin beragam dan berkembang salah satunya dengan teknologi material yang digunakan. Phase change material merupakan teknologi material yang dapat diaplikasikan di berbagai elemen bangunan seperti selubung bangunan atau double skin facade. Phase change material merupakan material yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan dan menyimpan energi panas laten. Phase change material memiliki kemampuan untuk berubah fasa dari cair menjadi padat maupun sebaliknya. Sebagian jenis phase change material memiliki karakter transparan yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan pada elemen bangunan transparan seperti selubung bangunan atau double skin facade sebagai strategi untuk meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi phase change material pada double-skin facade bangunan terhadap kenyamanan termal ruang dalam bangunan di Kota Bandung. phase change material sendiri merupakan material yang belum banyak diterapkan khususnya dalam dunia arsitektur sehingga penelitian perihal phase change material ini dapat menambah pengetahuan mengenai inovasi strategi mencapai kenyamanan termal ruang dalam pada bangunan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimental menggunakan simulasi digital. Eksperimen dengan simulasi digital dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Design Builder dan EnergyPlus. Analisis dilakukan dengan membandingkan kondisi model simulasi sebelum aplikasi phase change material pada double skin facade dan setelah aplikasi phase change material pada double skin facade. Berdasarkan proses analisis, diperoleh kesimpulan bahwa Aplikasi phase change material dapat meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Alternatif rancangan double skin facade dengan phase change material memiliki pengaruh perubahan temperatur operatif rata-rata hingga sebesar 7,34% dibandingkan ruangan tanpa penggunaan phase change material. Kata Kunci: phase change material, double skin facade, kenyamanan termal ruang dalam PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6359.16-30 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)
Authors:Dian Novita, Aldyfra L. Lukman Pages: 31 - 48 Abstract: Abstrak - Gereja St. Gabriel adalah rumah Allah dan wadah bagi umat Katolik beribadah. Gereja Katolik St. Gabriel memiliki konsep yang mengutamakan keterhubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan juga manusia dengan lingkungan. Kenyamanan ruang merupakan faktor penting dalam mendukung suasana beribadah, sehingga Gereja St. Gabriel memperkuat konsepnya dengan konsep desain pasif dan ekologis. Konsep tersebut diwujudkan melalui transparansi dan keterbukaan bangunan gereja yang besar terhadap lingkungannya, untuk mengoptimalkan pencahayaan dan penghawaan alami. Hal tersebut yang membuat wujud fisik Gereja St. Gabriel memiliki perbedaan dengan Gereja Katolik pada umumnya, yang relatif tertutup dengan bukaan terbatas, untuk meminimalisasi gangguan suara dari luar guna membentuk suasana ibadah yang lebih sakral. Pengalaman ruang dalam gereja akan mempengaruhi suasana ibadah dan pengalaman spiritualitas jemaat saat melaksanakan kegiatan ibadah. Suasana dan pemaknaan ruang yang tidak hanya dipersepsikan secara visual saja, namun dapat dipengaruhi juga dengan indera pendengaran bahkan hingga ke indera penciuman. Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan, untuk memahami bagaimana sebuah bukaan ruang di bangunan ibadah membentuk sense of sacred space bagi jemaat nya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang disampaikan secara deskriptif. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan, studi literatur, dan menyebarkan kuesioner kepada jemaat gereja. Data dianalisis sesuai dengan kajian teori yang digunakan dan juga dari hasil kuesioner mengenai sense of sacred space jemaat terhadap bukaan di Gereja St. Gabriel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sense of sacred space jemaat dapat terbentuk jika suasana ruang ibadah tenang dan kondusif. Bukaan ruang memiliki peranan penting dalam membentuk suasana tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa melalui kualitas visual dan audial yang dihasilkan dari bukaan, yang memiliki perbandingan peranan sebagai penyangga audio – visual lebih besar dibandingkan peranan sebagai penyaring cahaya, akan menciptakan sense of sacred space jemaat dalam Gereja St. Gabriel. Kata Kunci: Bukaan Ruang, Gereja Katolik, Sense of Sacred Space. PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6360.31-48 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)
Authors:Marisstella Joan, Laurentia Carissa Pages: 49 - 65 Abstract: Abstrak - RISHA(Rumah Instan Sederhana Sehat) merupakan teknologi struktur pracetak dengan sistem knock-down atau dapat dibongkar pasang yang dirancang oleh Pusat Penelitiandan Pengembangan (PUSLITBANG) Permukiman pada tahun 2004. RISHA mempunyai komponen struktural dengan ukuran yang terbatas yaitu 1,8 m dan 3 m. RISHA kemudian dikembangkan untuk menambah ukuran komponen P1 sehingga didapatkan ukuran luas lantai bangunan yang lebih variatif. Pengembangan RISHA ini memberikan keuntungan yang besar dalam perancangan rumah tinggal dibanding perancangan konvensional. Penggunaan teknologi informasi merupakan salah satu media yang sangat bermanfaat untuk jaman yang semakin berkembang. Tidak banyak orang mengetahui cara menggunakan software CAD, karena itu perancangan aplikasi ini akan membantu mempercepat proses perancangan, pembangunan dan perhitungan biaya RISHA baik untuk arsitek, aplikator maupun calon pengguna. Konsep instan akan tetap terpenuhi dengan adanya aplikasi berbasis smartphone ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk melanjutkan penelitian dari RISHA modifikasi dengan merancang variasi modul ruang untuk mengakomodasi aktivitas pada fungsi hunian yang disesuaikan dengan ruang gerak dan jumlah penghuni. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang prototipe aplikasi smartphone melalui website figma untuk mempermudah proses perancangan dan pembangunan rumah RISHA dengan komponen modifikasinya. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu perancangan denah rumah dengan RISHA modifikasi berdasarkan data dari studi literatur dan metode kuantitatif dari hasil wawancara dengan pihak yang berpengalaman dalam industri RISHA untuk validasi penggunaan aplikasi smartphone. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukan tiga tata letak yang dapat mengakomodasi aktivitas manusia pada rumah tinggal. Ketiga tata letak tersebut mempunyai keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Tata letak A mempunyai harga struktur dari Rp20.976.000,00 sampai Rp20.812.000,00 dengan kelebihan yaitu mempunyai RTH (RuangTerbuka Hijau) serta bisa menjadi arah masuknya sumber cahaya, sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan tapak yang besar karena bentuk denah yang asimetris. Tata letak B merupakan perancangan yang paling sederhana, harga strukturnya mulai dari Rp16.640.000,00 sampai Rp18.224.000,00, sedangkan kekurangannya adalah tidak ada ruang makan, sehingga harus digabung dengan ruang keluarga. Tata Letak C merupakan tata letak yang paling luas, sehingga biaya strukturnya paling besar yaitu dari Rp23.888.000,00 sampai Rp24.816.000,00. Aplikasi akan menyajikan rancangan rumah tinggal dan harga strukturnya, kemudian dihubungkan dengan website PUPR untuk menghubungi aplikator. Aplikasi ini dapat mempermudah aplikator, arsitek dan calon penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan rumah tinggal RISHA. Kata Kunci : Rancangan arsitektur, RISHA, Sistem informasi, Aplikasi rancangan, Beton pracetak PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6361.49-65 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)
Authors:Pininta Taruli Ayeris, Rahadian Prajudi Herwindo Pages: 66 - 83 Abstract: Abstrak - Arsitektur candi merupakan salah satu arsitektur tertua yang terdapat di Indonesia maupun di dunia, candi yang berasal dari kata candika grha dengan arti rumah Dewi Candika yaitu dewi maut tetapi Soekmono (1977 :231) mengatakan candi tidak selalu dianggap makam, tetapi merupakan sebuah bangunan kuil. Candi – candi Buddha Padang Lawas yang diambil sebagai objek penelitian terdiri dari Candi Bahal I, II, III dan Candi Sipamutung disandingkan dengan candi – candi Buddha Mataram Kuno, Jawa Tengah. Unsur – unsur arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas memiliki pola arsitektur yang unik dan berbeda dengan arsitektur candi Buddha Jawa pada umumnya. Perkiraan pembangunan dari abad ke-9 – ke-13 untuk arsitektur candi – candi di Sumatra didukung juga dengan fakta bahwa Sumatra dalam Kerajaan Sriwijaya, merupakan pusat penyebaran agama Buddha yang paling awal sebelum Mataram Kuno yang dipercayai disebarkan sebelum tahun 5M- 6M, berdasarkan catatan seorang keturunan Cina Bernama Fa Hsien sekitar abad ke-4. Arsitektur candi Buddha Padang Lawas maupun di seluruh Sumatra belum memiliki ciri yang jelas jika disejajarkan dengan candi – candi Jawa yang memiliki pedoman dan ciri – ciri yang sudah dikaji secara lebih jelas. Gambaran dari arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas jika dilihat dari unsur – unsur arsitekturnya secara sekilas memiliki keunikan dan tampak yang berbeda dengan candi di Jawa, hal ini digunakan sebagai penelitian studi penjajaran antara candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno. Tujuan dari penelitian untuk memahami perbedaan dan persamaan dari arsitektur candi yang dibangun di kedua daerah yang berbeda dan faktor – faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan arsitektur candi. Penjajaran ini dilakukan dikarenakan juga tidak ada pedoman yang jelas untuk arsitektur Buddha, berbeda dengan arsitektur Hindu dengan kitab Mānasāra, maka arsitektur diteliti lebih lanjut untuk memperlihatkan hubungannya. Data arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno berdasarkan objek penelitian yang sudah disebutkan dengan penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif analitik, dengan teknik pengumpulan data dirujuk dari dokumen dan studi pustaka. Arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno disandingkan untuk menganalisa persamaan dan perbedaan dengan teori Arsitektur candi Buddha, aliran, dan yang terpenting unsur arsitektur yang terdiri dari tata massa atau pola perletakan, tata ruang, sosok bangunan dan siluet bangunan, dan ragam hias & ornamentasi pada bangunan candi. Hal – hal dari persamaan, perbedaan, dan kemiripan pasti dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu yang memberikan keunikan pada arsitektur, pada penelitian ini faktor – faktor dilihat dari faktor alam yang mempengaruhi arsitektur candi, faktor bahan dan keteknikan yang terkait dengan alam, faktor religiusitas yang mempengaruhi pola arsitektur, dan faktor sosial-budaya-politik. Hasil dari analisis adalah ditemukan banyak persamaan dan perbedaan antara candi Sumatra dan Jawa pada unsur arsitekturnya, terdiri dari tata massa, ruang, sosok bangunan, dan ragam hias & ornamentasi. Persamaan yang ditemukan sedikit, tetapi kemiripan banyak ditemukan dimungkinkan oleh penyerapan arsitektur candi Jawa yang dikembangkan berdasarkan kearifan lokal, faktor religiusitas, alam, bahan dan keteknikan. Perbedaan yang ditemukan juga terlihat paling jelas dengan pola penataan massa candi dalam rencana tapak yang sangat berbeda dengan umumnya candi Buddha Jawa yang dipengaruhi oleh faktor religiusitas dan faktor alam. Kata Kunci : Arsitektur candi, Buddha, Padang Lawas, unsur arsitektur PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6362.66-83 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)
Authors:Audy Widhianingtyas, Sudianto Aly Pages: 84 - 99 Abstract: Abstrak - Salah satu cerminan kekayaan budaya Indonesia adalah arsitektur tradisional, tak terkecuali arsitektur Jawa yang sarat makna. Sayangnya, eksistensi arsitektur tradisional di era modern kian memudar. Adanya Plataran Dharmawangsa sebagai contoh pelestarian arsitektur Jawa meski telah mengalami penyesuaian pada fungsi dan desain menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari bagaimana tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada restoran Plataran Dharmawangsa di Jakarta. Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan, dilakukan kajian teori untuk mendasari penelitian ini. Teori yang dikaji adalah teori tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa, ditinjau dari aspek orientasi, zonasi dan ruang-ruang, bentuk bangunan tradisional, elemen pembentuk ruang (konsep kepala-badan-kaki), struktur dan konstruksi, serta ornamen, hingga diperoleh rangkuman sebagai alat analisis. Pada Bab 3, dipaparkan data-data terkait dengan objek penelitian yaitu Plataran Dharmawangsa berkaitan dengan teori arsitektur Jawa yang telah dipelajari pada bab 2, dimulai dari aspek orientasi, zonasi, ruang, massa, elemen pembentuk ruang, struktur, dan ornamen yang ada lewat foto-foto dan deskripsi. Pemaparan ini berfokus pada Ruang Sedap Malam, Ruang Kenanga, Ruang Melati, Ruang Kantil, dan Surau. Pada Bab 4, tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada objek dianalisis dari keenam aspek, menggunakan alat analisis di bab 2. Hasilnya ditentukan dengan parameter ‘sesuai’, ‘penyesuaian’, atau ‘tidak sesuai’, dan kemudian dirangkum. Pada Bab 5, disimpulkan bahwa dapat ditemukan tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada restoran Plataran Dharmawangsa di Jakarta dengan adanya penyesuaian pada tiga aspek. Dari segi ruang, aspek orientasi dan zonasi ruang telah mengalami pergeseran akibat faktor geografis dan penyesuaian fungsi. Dari segi bentuk, penyesuaian terdapat pada aspek elemen pembentuk ruang, khususnya variabel pelingkup yang kini dikombinasikan dengan material dinding yang lebih transparan. Hal ini mendukung keharmonisan dengan alam dan menyatukan keragaman fasad pada Plataran Dharmawangsa. Tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa ini kini menjadi karakteristik dan nilai tambah bagi restoran Plataran Dharmawangsa, dengan aktivitas restoran yang tetap dapat terwadahi dengan baik. Kata Kunci: tata ruang, bentuk, arsitektur Jawa, restoran, Plataran Dharmawangsa, Jakarta PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6364.84-99 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)
Authors:Finka Soelistyo, Handoko Sutanto Pages: 100 - 116 Abstract: Abstrak - Gereja sebagai tempat ibadah dituntut untuk memiliki kualitas akustik yang ideal, tanpa melupakan aspek lain. Gereja Katolik St. Yusuf Gedangan merupakan salah satu bangunan bersejarah di Semarang dengan langgam arsitektur Neo-Gotik, dengan sedikit pengaruh Gotik. Pada zaman Neo-Gotik, perancangan sebuah gereja lebih ditekankan kepada aspek liturgis sehingga proporsi ruangnya cenderung dibuat gigantis. Ciri arsitektur Neo-Gotik lainnya adalah adanya kolom-kolom besar di dalam interior, denah yang memanjang, serta penggunaan material seperti kaca patri, kayu solid, serta lantai marmer. Ciri-ciri gereja Neo-Gotik tersebut dapat berpotensi mempengaruhi kualitas akustik seperti distribusi suara, kejelasan suara, waktu dengung, dan cacat akustik. Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh interior bergaya arsitektur Neo-Gotik terhadap kualitas akustik menggunakan metode evaluasi pascahuni dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini dilakukan pembahasan mengenai teori arsitektur Neo-Gotik dan teori kualitas akustik ideal gereja, lalu membandingkan teori tersebut dengan hasil pengujian dan pengamatan di lapangan, perhitungan, serta simulasi menggunakan perangkat lunak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kualitas akustik pada gereja dengan parameter distribusi suara, kejelasan pidato, dan waktu dengung menggunakan sumber suara langsung maupun pengeras suara. Selain itu juga dibahas mengenai pengaruh penempatan speaker eksisting. Data kualitatif berupa persepsi umat terhadap artikulasi suara dan inteligibilitas suara juga digunakan untuk mendukung hasil perhitungan dan pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya interior Neo-Gotik pada Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan memiliki pengaruh terhadap kualitas akustik ruang ibadah ditinjau dari beberapa parameter kualitas akustik gereja. Denah Gereja yang berbentuk persegi panjang, menyebabkan distribusi suara menjadi kurang merata pada area duduk umat bagian belakang. Adanya kolom-kolom yang cukup besar pada inteiror ruang ibadah menyebabkan cacat akustik berupa bayangan bunyi. Volume ruang yang terlalu besar akibat ketinggian plafon yang tinggi dan bentuk plafon yang mengikuti sistem struktur rib vault menyebabkan waktu dengung menjadi tinggi atau tidak ideal. Selain itu, pemantulan pada plafon juga menyebabkan cacat akustik berupa long delayed reflection sehingga menurunkan kejelasan suara. Material interior yang seluruhnya merupakan material reflektif juga turut berperan dalam tingginya nilai waktu dengung yang juga berdampak pada rendahnya tingkat kejelasan pidato, diakibatkan oleh kurangnya pemantulan secara difusi. Penempatan loudspeaker eksisting pada ruang ibadah Gereja St. Yusuf Gedangan Semarang terbukti efektif dalam membantu memperbaiki distribusi suara, kejelasan pidato, dan mengurangi cacat akustik berupa bayangan bunyi, namun kurang efektif terhadap kejelasan pidato serta mempengaruhi adanya cacat akustik long delayed reflection. Kata Kunci: Ruang Ibadah, Arsitektur Neo-Gotik, Kualitas Akustik, Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan Semarang PubDate: 2023-01-09 DOI: 10.26593/risa.v7i01.6370.100-116 Issue No:Vol. 7, No. 01 (2023)