Authors:Handoyo Lawiguna, Rahadian Prajudi Herwindo Pages: 117 - 135 Abstract: Abstrak - Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Henri Maclaine Pont adalah dua orang arsitek berkebangsaan Belanda yang berkarya di Hindia Belanda pada periode 1900-1940. Pada periode ini identitas dari arsitektur Nusantara tengah dicari oleh arsitek Belanda karena perkembangan pemikiran baru arsitektur yang melibatkan kelokalan setempat. Pemikiran ini lahir karena pemikiran yang lama kurang meletakkan arsitektur dengan konteks geografisnya, dimana pemikiran arsitektur “barat” masih mendominasi perancangan. Kedua arsitek tersebut merupakan tokoh yang cukup lantang dalam menyuarakan pemikiran dan idealismenya tentang identitas arsitektur Nusantara sehingga mereka sering berdebat, menginisiasi ide masing-masing untuk mengembangkan identitas arsitektur Nusantara. Keduanya diperkirakan menggunakan pendekatan arsitektur Nusantara namun dari sudut pandang yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan cara mendeskripsikan objek – objek terpilih dari kedua sosok tersebut serta menjajaran objek dan dibandingkan dengan teori arsitektur Nusantara oleh Prof. Josef Prijotomo. Data dikumpulkan dengan observasi lapangan serta studi pustaka. Data dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian, yaitu tata ruang, struktur – konstruksi – material, dan sosok bangunan. Teknik analisis dilakukan dengan mengaitkan data yang ada dengan teori arsitektur Nusantara serta diintepretasi juga dengan teori lain yang mendukung penelitian untuk membaca arsitektur Nusantara pada objek studi. Hasil penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu dalam karyanya, Schoemaker menafsirkan arsitektur Nusantara dengan pendekatan fungsional dan estetika, dimana fungsional tersebut terkait dengan kenyamanan ruang dan kaitannya dengan iklim lokal. Unsur estetika dibuat dengan menempelkan ornamen yang berkaitan dengan candi. Pendekatan perancangan yang dilakuan oleh Schoemaker adalah modern – lokal, yaitu pemikiran modern dan menambahkan unsur lokal. Berkebalikan dengan Schoemaker, Pont menafsirkan dan mengaplikasikan arsitektur Nusantara lebih menyeluruh. Pont lebih membaca konteks lokal sampai ke akarnya dengan mempelajari sejarah dan budaya agar arsitektur tersebut kontestual dengan alam, sosial, dan budaya lokal. Dalam karyanya, Pont hampir selalu mengaplikasikan teori arsitektur Nusantara, baik pada tatanan ruang, struktur – konstruksi – material, ataupun sosok bangunannya, sehingga bisa disimpulkan pendekatan merancang Pont adalah lokal – modern yaitu mengembangkan dan memperkaya arsitektur lokal dengan kemajuan ataupun pemikiran modern yang bisa mendampingi dan melengkapi arsitektur Nusantara. Kata Kunci: arsitektur Nusantara, Schoemaker, Pont PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6600.117-135 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)
Authors:Jessica Victoryana, Harastoeti Dibyo Hartono Pages: 136 - 150 Abstract: Abstrak - Gedung Pertunjukan De Majestic merupakan bangunan cagar budaya golongan A di Kota Bandung. Bangunan yang berlokasi di Jalan Braga no 1, Bandung ini dibangun pada tahun 1920 dengan nama pertama Concordia Bioscoop. Gedung De Majestic merupakan bioskop pertama yang berdiri di Kota Bandung, dan merupakan bioskop pertama yang menayangkan film di Kota Bandung. Sayangnya masa kejayaan dari Gedung De Majestic hanya berlangsung sampai kepada tahun 2002 yang pada akhirnya dilakukan kegiatan pelestarian dan penggantian fungsi bangunan. Sepanjang umurnya, bangunan ini sudah mengalami beberapa kali upaya pelestarian seiring dengan perkembangan zaman, serta pergantian kepengelolaan sampai saat ini. Pelestarian terhadap Gedung De Majestic ini adalah sebuah bentuk usaha untuk mempertahankan eksistensinya. Perubahan yang telah dialami oleh Gedung De Majestic antara lain; Gedung Bioskop Majestic, Asia Africa Cultural Center, New Majestic, Gedung Pertunjukan De Majestic. Gedung De Majestic ini pun memiliki sejarah cukup kelam yang terjadi pada tahun 2008, hal ini yang menyebabkan terus menurunnya minat berkunjung dari masyarakat dan juga penggunaan bangunan ini. Dengan keadaan seperti ini, bangunan menjadi kurang mendapat perhatian sebagai bangunan cagar budaya di Kota Bandung, padahal fisik bangunan sendiri dapat dikategorikan terawat dengan baik dan masih bisa dioptimalkan. Maka dari hal tersebut, penelitian ini mengarah pada evaluasi Gedung De Majestic ini terkait dengan fungsinya guna menciptakan kajian yang solutif untuk meningkatkan vitalitas dan potensi Gedung De Majestic. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan evaluasi kualitatif, dengan mengkaji kondisi Gedung De Majestic secara fisik dan operasionalnya. Setelah itu dilakukan juga analisis terkait dengan keselarasan dengan kawasan tempat bangunan berdiri, dan peruntukkan kawasannya sesuai dengan regulasi Kota Bandung yang sudah ditetapkan pemerintah. Penelitian ini juga mengacu kepada teori – teori terkait pelestarian bangunan, prinsip – prinsip adaptive re-use, dan regulasi yang mengatur bangunan cagar budaya di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah gagasan dan ide fungsi baru yang sudah melewati proses analisis yang berarti memiliki potensi paling besar untuk diimplementasikan kepada Gedung De Majestic. Gagasan fungsi baru yang dipilih sudah melewati proses analisis seperti lokasi, nilai sejarah, karakteristik bangunan, kebutuhan ruang, hingga potensi pada bangunan dan bagi kawasan. Adanya fungsi baru pada bangunan ini diharapkan dapat meningkatkan vitalitas bangunan dan minat berkunjung pada bangunan maupun kawasan, serta mengembalikan nilai – nilai yang sudah mulai pudar di zaman modern ini di kalangan masyarakat. Dengan adanya fungsi yang baru, kiranya dapat membuat masyarakat dalam dan luar kota dapat turut memelihara, melindungi, dan memanfaatkan keberadaan Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Kata-kata kunci: Pelestarian, Bangunan Cagar Budaya, Adaptive Re-Use, Gedung De Majestic PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6601.136-150 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)
Authors:Julian Farrel Malik Hakim, Franseno Pujianto Pages: 151 - 168 Abstract: Abstrak - Citra merupakan bayangan visual yang terbentuk karena adanya interaksi antara manusia sebagai pengamat dengan suatu objek. Gambaran tersebut merupakan kesan akan suatu objek yang mudah diingat oleh pengamat. Citra dalam arsitektur memiliki peran untuk memberikan bayangan kepada pengamat tentang struktur dari suatu ruang atau wilayah. Pengamat akan memiliki bayangan jika mengingat tentang wilayah tersebut. Citra yang dimunculkan akan berbeda, tergantung siapa yang mengamatinya. (Lynch, 1960). Memperkuat citra pada suatu wilayah sangat diperlukan dikarenakan dapat membuat pemaknaan bagi seseorang yang berada pada wilayah tersebut sehingga memiliki ikatan. Seseorang akan memaknai jika dia ingat akan tempat tersebut disaat dia pernah beraktivitas pada tempat tersebut. Desa Trusmi Cirebon merupakan Desa yang sudah memiliki identitas sebagai desa “Sentra Batik” serta desa yang masih mempertahankan aktivitas tradisi kebuyutan. Identitas tersebut terjadi karena masih dapat ditemukan aktivitas yang berhubungan dengan tradisi dan kerajinan batik pada desa ini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh aktivitas keseharian dan aktivitas tradisi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap elemen pembentuk citra pada Desa Trusmi. Tempat untuk melakukan aktivitas akan diidentifikasi oleh masyarakat sebagai elemen pembentuk citra Desa Trusmi. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif, data diperoleh dari studi literatur, pengamatan langsung ke lapangan, serta wawancara terhadap penduduk Desa Trusmi. Pengamatan berfokus pada aktivitas dari warga dan tempat beraktivitasnya, yang kemudian dibuat mapping aktivitas pada Desa tersebut. kemudian , dari data aktivitas tersebut, akan dianalisis dengan elemen- elemen pembentuk citra sehingga dapat diketahui path/ jalur yang digunakan untuk aktivitas, edge/ batas yang menjadi batas ruang aktivitas, district/ kawasan yang ditemukan sebagai pusat aktivitas, nodes/ simpul yang menjadi titik berkumpul, dan landmark yang menjadi pengarah orientasi aktivitas. Kesimpulan dari penelitian ini, ditemukan bahwa “Citra Desa Trusmi” dapat ditemukan berdasarkan analisis tempat dilakukannya aktivitas masyarakat yang terdapat pada Desa Trusmi. Ini menunjukan adanya pengaruh dari aktivitas keseharian warga dan aktivitas yang dilakukan sebagai tradisi dalam membentuk gambaran fisik dari Desa Trusmi. Desa Trusmi Cirebon dapat disimpulkan merupakan desa yang citra-nya mudah untuk diingat dikarenakan pada desa ini dapat ditemukan Path Utama yang menjadi tempat aktivitas keseharian, Strong Edge yang berupa dinding showroom batik yang menerus di Path Utama tersebut, District Pusat Aktivitas RItual dan Komersial, Anchor Nodes, dan Landmark yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat dalam desa dan pengunjung dari luar desa. Kata Kunci: Elemen Pembentuk Citra, Aktivitas, Kerajinan Kain Batik, Tradisi Kebuyutan, Desa Trusmi Cirebon PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6602.151-168 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)
Authors:Ilona Beatrix Hendrata, Yuswadi Saliya Pages: 169 - 183 Abstract: Abstrak - Arsitektur Posmodern mulai digagaskan sekitar tahun 1960-an, ketika para arsitek yang didukung oleh ide-ide para filsuf dan sastrawan melihat bahwa arsitektur modern sudah tidak lagi sesuai dengan zaman karena ketidakmampuan dalam menjawab konteks budaya yang spesifik dalam sebuah karya arsitektur. Seorang tokoh bernama Robert Venturi adalah salah seorang yang berperan penting dalam perkembangan Arsitektur Posmodern dengan berbagai gagasannya, yang paling terkenal adalah “Less is Bore” yang menanggapi semboyan arsitektur “Less is More” pada arsitektur Modern. Robert Venturi menulis beberapa buku, diantaranya adalah “Complexity and Contradiction in Architecture” yang berisi gagasan-gagasan Posmodern Robert Venturi. Arsitektur Posmodern yang memiliki pemikiran eklektik dan hybrid juga turut berkembang pesat di Indonesia, khususnya di Pulau Bali sebagai salah satu pusat kebudayaan. Arsitektur yang menjadi ciri khas Pulau Bali adalah Pura sebagai tempat ibadah dan Puri sebagai tempat tinggal kerajaan Bali. Puri Agung Karangasem berada di pusat Kota Amlapura, kerajaan di Bali Timur. Didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem yang diangkat sebagai Stadholder II. Puri Agung Karangasem menerapkan konsep perpaduan antara beberapa budaya dalam arsitekturnya. Arsitektur Bali, arsitektur kolonial sesuai dengan masa pembangunan, dan ada pengaruh Cina. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analisis. Data yang telah terkumpul akan diproses dengan cara dibandingkan, dikelompokkan dan disimpulkan. Dalam studi akan dicari gagasan-gagasan Venturi dalam “Complexity and Contradiction in Architecture” yang tercermin dalam arsitektur Puri Agung Karangasem. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya gagasan Venturi yang terwujud dilihat dari tata massa dan tata ruang, sosok bangunan dan ornamentasi hasil akulturasi ketiga budaya. Hal ini membuktikan bahwa sebelum Arsitektur Posmodern berkembang di tahun 1960 dan Venturi mengeluarkan gagasan, Puri Agung Karangasem di Pulau Bali sudah menerapkan konsep ini dalam pembangunan Puri sejak lebih dari 60 tahun sebelumnya. Kata Kunci: Puri, Bali, Robert Venturi, arsitektur Posmodern PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6604.169-183 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)
Authors:Benno Tumpak Ahimsa Sirait, Yenny Gunawan Pages: 184 - 195 Abstract: Abstrak - Arsitektur bioklimatik sudah ada sejak abad ke 20 namun perkembangannya di Indonesia baru belakangan ini terlihat. Arsitektur di Indonesia seringkali meniru atau menjiplak arsitektur di luar negeri dengan iklim berbeda yang menciptakan bangunan yang tidak nyaman bagi penggunanya dan juga boros penggunaan energinya. Letak Indonesia di iklim tropis masih belum banyak dikembangkan penerapannya dalam arsitektur yang banyak digunakan. Penelitian dimulai dengan mengkaji konsep bioklimatik di Jakarta dan bangunan RAD+ar HQ sebagai objek studi dengan konsep arsitektur bioklimatik. Selanjutnya dilakukan pengambilan data fisik, data pengukuran kondisi lingkungan, dan data wawancara persepsi untuk melakukan evaluasi terhadap bagaimana penerapan konsep bioklimatik pada bangunan RAD+ar HQ dan bagaimana persepsi pengguna bangunan terhadap kenyamanan termal dan visual pada bangunan RAD+ar HQ/. Dari penelitian tersebut, didapatkan bahwa penerapan konsep bioklimatik pada bangunan RAD+ar HQ belum sepenuhnya karena konsep awal yang berbeda serta adanya modifikasi karena keterbatasan dari kondisi pandemi, yang mementingkan sirkulasi antar pengguna di bangunan. Pengguna bangunan RAD+ar HQ sebagian besar sudah merasa nyaman secara termal dan visualnya namun belum semua pengguna merasa nyaman secara termal, hal ini dapat diakibatkan dari kondisi termal yang mayoritas ruangannya berada diluar standar kenyamanan termal. Bangunan ini sudah menerapkan arsitektur bioklimatik walaupun belum sepenuhnya diterapkan Kata Kunci: arsitektur bioklimatik, arsitektur tropis, RAD+ar Headquarters PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6605.184-195 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)
Authors:Marion Halim, Mira Dewi Pangestu Pages: 196 - 211 Abstract: Abstrak - Pencahayaan merupakan salah satu hal krusial untuk dapat berjalannya aktivitas. Pencahayaan dapat dikategorikan baik, jika dapat memenuhi standar kenyamanan visual sesuai tuntutan aktivitas pada ruang. Salah satu aspek yang memengaruhi karakteristik pencahayaan pada sebuah ruang adalah tipologinya, di mana ruang yang luas atau gemuk memiliki area tengah yang lebih sulit dijangkau oleh pencahayaan alami (Anasiru, 2016) sehingga lebih mengandalkan pencahayaan buatan. Meskipun begitu, tipologi ruang gemuk dapat tidak sepenuhnya bergantung pada pencahayaan buatan, karena sudah banyak inovasi dalam memasukkan pencahayaan alami. Dengan begitu, dapat dilakukan penghematan energi untuk pencahayaan pada bangunan. Objek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah Pujasera FoodStep, sebuah area komersial pada lantai semi basement Apartemen Parahyangan Residence. Objek penelitian ini yang diisi oleh berbagai gerai makanan dan area duduk. Selain digunakan untuk aktivitas makan juga seringkali digunakan untuk belajar, mengerjakan tugas kuliah, maupun sekadar diskusi. Ruangan yang cukup luas ini memanfaatkan pencahayaan buatan sebagai sumber pencahayaan utama. Terdapat juga bukaan samping dan light well sebagai sumber pencahayaan alami. Aspek kuantitas dan kualitas pencahayaan menjadi penting dalam pemenuhan kenyamanan visual, terutama pada Pujasera yang digunakan sebagai area makan, belajar, dan mengerjakan tugas. Selain itu, sebagai ruangan yang cenderung luas, besar kemungkinan area ini memanfaatkan cahaya buatan sebagai sistem pencahayaan utamanya. Maka dari itu, diperlukan strategi untuk dapat memanfaatkan cahaya alami dari bukaan samping dan lightwell sehingga dapat meringankan beban pencahayaan buatan. Hal ini menjadi semakin penting melihat kondisi eksisting yang seakan tidak memanfaatkan cahaya alami sama sekali, di mana semua lampu dinyalakan sepanjang harinya, pada area – area dekat bukaan sekalipun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat kenyamanan visual pada kondisi eksisting, mencari usulan strategi terkait pencahayaan buatan untuk dapat memenuhi kenyamanan visual, sekaligus strategi kolaborasi antara pencahayaan buatan dengan pencahayaan alami untuk menghemat energi. Metode yang digunakan adalah deskriptif eksperimental, dengan pendekatan kuantitatif melalui simulasi yang dibantu software Dialux Light Wizard, Evo, dan Curic Sun. Lewat penelitian ini, diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, pencahayaan pada kondisi eksisting yang mengandalkan cahaya buatan sebagai penerangan utamanya belum memenuhi standar kenyamanan visual. Kedua, diperoleh hasil desain pencahayaan buatan yang dapat mencapai kenyamanan visual. Ketiga, adalah diperolehnya usulan strategi yang dapat mengkolaborasikan pencahayaan buatan dengan pencahayaan alami. Saran yang dapat diberikan lewat penelitian ini adalah untuk mempertimbangkan peran elemen – elemen lain diluar pencahayaan buatan sebagai aspek yang juga memengaruhi pencahayaan dalam ruang. Elemen yang dimaksud adalah desain dari bukaan samping dan juga lightwell, serta penggunaan material dinding, lantai, dan plafon. Kata Kunci: Pencahayaan, kenyamanan visual, penghematan energi, Pujasera Foodstep PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6606.196-211 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)
Authors:Gilang Pratomo, Kamal Abdullah Arif, Enrico Nirwan Histanto Pages: 212 - 227 Abstract: Abstrak - Masjid Salman ITB merupakan salah satu karya arsitektur monumental yang ada di Indonesia Memiliki atap melengkung ke atas dengan ruang sholat yang merupakan area bebas kolom dan hingga sekarang masih dapat berfungsi dengan baik. Struktur sendiri memiliki fungsinya sebagai media untuk menyalurkan beban, namun fungsi struktur dari sebuah bangunan tidak hanya berhenti sampai disitu, tetapi juga sebagai nilai keindahan dari karya arsitektur itu sendiri. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pemanfaatan struktur pada bangunan Masjid Salman ITB yang tidak hanya berfungsi sebagai media penyaluran beban pada bangunan, tetapi juga memiliki nilai estetis. Hasil penelitian dapat menjadi pengembangan keilmuan mengenai perancangan struktur yang dapat meningkatkan nilai estetika bangunan. Perancang dapat memanfaatkan keilmuan ini dalam mengambangkan desain yang berbasis struktur, sehingga kedepannya elemen struktur tidak hanya lagi dipandang sebagai pelengkap bangunan, tetapi memiliki nilai yang sama dengan desain arsitekturalnya. Teori yang digunakan untuk mengkaji estetika struktur adalah teori Bjorn Normann, dimana estetika struktur dapat dinilai dari fungsi mekanikal dan fungsi spasial. Teori tersebut akan menjadi dasar hasil kajian dari buku-buku yang terkait dengan struktur. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pengolahan data yang bersumber dari studi literatur, pengamatan langsung, wawancara, dan simulasi. Analisis dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitu, pembahasan struktur terhadap aspek strukturalnya sebagai media penyalur beban. Bagian kedua yaitu, pembahasan struktur terhadap aspek asritekturalnya sebagai wujud, ekspresi, dan elemen pembagi ruang. Pembahasan tersebut mengsilkan temuan yang menjadi dasar penarikan kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, struktur sebagai elemen pembentuk ruang memiliki peran tertinggi dalam mencapai etetika struktur pada Masjid Salman ITB. Selanjutnya, struktur sebagai ekspresi bangunan masih memiliki peran yang cukup tinggi dalam mencapai estetika struktur pada Masjid Salman ITB. Terakhir, struktur sebagai wujud bangunan memiliki peran yang paling rendah untuk mencapai estetika struktur pada Masjid Salman ITB. Adapun hal ini dapat tercapai karena peran struktur sebagai penyalur beban yang memiliki penekanan pada pengoptimalan bentuk struktur dan konfigurasinya. Kata Kunci: Masjid Salman ITB, estetika struktur, fungsi struktural, fungsi arsitektural, penyalur beban, wujud, ekspresi, ruang dalam PubDate: 2023-04-04 DOI: 10.26593/risa.v7i02.6607.212-227 Issue No:Vol. 7, No. 02 (2023)