Authors:Karina Simarmata, Erni Setyowati Pages: 1 - 9 Abstract: Abstrak_ Sumber tingkat kebisingan di Stasiun kereta api pada beberapa ruang interior antara lain ruang VIP, hall, office, market, dan loko café dengan cara pengukuran di lapang dan dilakukan pada tanggal 15 September 2023 pada jam 12.33 WIB. Tingkat baku kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 bahwa stasiun kereta api sebesar 60 desibel. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persebaran kebisingan. Metode yang digunakan metode kuantitatif dengan pengambilan di lapangan dan melakukan perbandingan Alat Sound Level Meter yang sudah di kalibrasi dan Aplikasi Sound Meter dalam waktu 3 menit dari datangnya kereta sampai kereta berangkat, Pengambilan data ini dikarenakan adanya pencemaran suara cukup menjadi ancaman serius bagi kualitas kenyamanan lingkungan terutama dibagian suasana pada saat kereta lewat dan kereta pada saat berangkat meninggalkan stasiun getaran dan bunyi mesin kereta api membuat tidak nyamanan pengunjung terlebih dari ketidaknyamanan saat pengunjung sedang beraktivitas. Hasil Tingkat kebisingan dari kelima interior Stasiun Poncol Semarang, menunjukan bahwa tingkat kebisingan terbesar pada bagian hall stasiun Poncol di karenakan ruangan yang semi terbuka membuat bunyi yang masuk pada ruangan sangat terganggu dan tingkat kebisingan dari kelima ruangan di atas batas Standar Baku Tingkat Kebisingan. Sehingga dapat disimpulkan ruangan pada Stasiun Poncol mengalami kebisingan yang lebih dari semestinya. Kebisingan pada area interior stasiun tersebut bisa melebihi batas nyaman yang ditentukan karena sumber bunyi yang berbeda-beda. Kata kunci: Interior; Kebisingan Ruangan; Sumber Kebisingan; Stasiun Pancol Abstract_ The source of the noise level at the train station in several interior spaces including the VIP room, hall, office, market, and loco café by measuring in the field and carried out on September 15, 2023, at 12.33 WIB. The noise standard level based on the Decree of the Minister of Environment No. 48 of 1996 that the train station is 60 decibels. The purpose of this study is to determine the distribution of noise. The method used is a quantitative method by taking in the field and comparing the calibrated Sound Level Meter and Sound Meter Application within 3 minutes from the arrival of the train until the train departs. The results of the noise level of the five interiors of Semarang Poncol Station show that the noise level is greatest in the hall of Poncol station because the room is semi-open to make the sound that enters the room is very disturbed, and the noise level of the five rooms above the standard limit of the noise level. So it can be concluded that the room at Poncol Station experiences more noise than it should. The noise in the interior area of the station can exceed the specified comfort limit because of the different sound sources. Keywords: Interior; Noise Room; Noise Source; Pancol Station PubDate: 2024-06-10 DOI: 10.24252/nature.v11i1a1 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Shapardi Kahir, Yusriadi Yusriadi Pages: 10 - 26 Abstract: Abstrak_ Studio gambar adalah suatu ruang dimana mahasiswa menyelesaikan mata kuliah inti desain arsitektur pada jurusan arsitektur. Studio merupakan ruang untuk melakukan berbagai aktivitas seperti diskusi baik dengan sesama peserta maupun dosen, membuat program dan perencanaan, melakukan studi preseden, presentasi gambar, mencari ide, dan membuat desain. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi personal space atau ruang personal mahasiswa pada ruang studio gambar departemen arsitektur Universitas Hasanuddin dan pengaruhnya terhadap konsentrasi belajar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Strategi purposive sampling digunakan untuk mengumpulkan data melalui kuesioner dan wawancara. Metode analisis deskriptif untuk menganalisis data mengenai personal space mahasiswa dalam belajar. Terdapat 64 orang menjadi sampel penelitian yaitu angkatan 2019 sebanyak 30 orang dan angkatan 2018 sebanyak 34 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal space mahasiswa terbagi dalam 4 kelompok jarak: jarak intim, jarak personal, jarak sosial dan jarak publik. Faktor situasional, aktivitas individu, kepribadian, jenis kelamin dan usia menjadi hal yang mempengaruhi personal space. Personal space memberikan pengaruh terhadap konsentrasi dalam belajar dalam ruang studio gambar. Jarak proksemik yang dekat, membuat mahasiswa lebih sulit untuk melakukan aktivitas sehingga konsentrasi berkurang, sedangkan jarak proksemik yang lebih jauh, membuat mahasiswa lebih leluasa untuk beraktivitas dan lebih bisa berkonsentrasi. Jarak antara individu menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi kenyamanan belajar. Kata kunci: Personal Space; Proksemik; Konsentrasi; Jarak Personal Abstract_ Abstract_ The drawing studio is a space where students complete core architectural design courses in the architecture department. The studio is a space for carrying out various activities such as discussions with fellow participants and lecturers, making programs and plans, conducting precedent studies, presenting images, looking for ideas, and making designs. This research aims to identify students' personal space in the drawing studio room of the architecture department at Hasanuddin University and its influence on study concentration. This research uses a qualitative descriptive method. A purposive sampling strategy was used to collect data through questionnaires and interviews. Descriptive analysis method to analyze data regarding students' personal space in learning. There were 64 people in the research sample, namely 30 people from the 2019 class and 34 people from the 2018 class. The research results show that students' personal space is divided into 4 distance groups: intimate distance, personal distance, social distance, and public distance. Situational factors, individual activities, personality, gender, and age are things that influence personal space. Personal space has an influence on concentration in studying in the drawing studio room. The close proxemic distance makes it more difficult for students to carry out activities so concentration decreases, while the longer proxemic distance makes students more free to carry out activities and can concentrate better. Distance between individuals is one of the variables that influences learning comfort. Keywords: Personal Space; Proxemics; Concentration; Personal Distance PubDate: 2024-06-11 DOI: 10.24252/nature.v11i1a2 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Wijayanti Suhartina, Atthaillah Atthaillah, Rinaldi Mirsa, Muhammad Iqbal, Badriana Badriana Pages: 27 - 36 Abstract: Abstrak_ Keberadaan rumoh Aceh ditemukan semakin langka, terutama rumoh Aceh yang masih digunakan sebagai hunian masyarakat. Saat ini rumoh Aceh yang bisa kita temukan adalah rumoh Aceh yang masih di huni, rumoh Aceh yang tidak di huni lagi, dan rumoh Aceh replika. Replika-replika rumoh Aceh dapat ditemui sebagai tempat kegiatan kebudayaan untuk waktu-waktu tertentu saja atau dipergunakan untuk museum. Penelitian ini melakukan investigasi terhadap rumoh Aceh yang masih digunakan sebagai hunian, yang tidak di huni lagi dan replika yang digunakan sebagai museum. Di prediksikan dimasa depan rumoh Aceh hanya ditemukan sebagai replikasi saja sehingga perlu usaha untuk memastikan orisinalitas yang pada penelitian ini melalui pengamatan elemen-elemen struktur penyusun rumoh Aceh. Tujuannya adalah untuk mengamati kualitas objek hasil replika dibanding dengan objek rumoh Aceh yang bukan replika. Adapun, metode survei, dan dokumentasi visual dengan foto dilakukan untuk mengamati kelengkapan elemen struktur berdasarkan pengamatan visual, pengukuran, observasi dan studi literatur. Hasil yang di dapat adalah membandingkan antara rumah yang bukan replika dengan rumah replika terhadap elemen-elemen penyusun struktur bangunan. Hasil ditemukan bahwa rumoh Aceh replika dalam hal ini rumoh Cut Nyak Meutia ditemukan tidak memiliki beberapa elemen struktur secara lengkap. Temuan ini diharapkan dapat dijadikan perhatian terutama dalam rangka usaha membuat replikasi-replikasi artefak budaya dengan tetap menjaga nilai-nilai dan kelengkapan penyusun bangunannya. Kata kunci: Rumoh Aceh; Elemen Struktur; Artefak Budaya; Rumah Adat Replika; Rumah Adat. Abstract_ Abstract_ The presence of traditional Acehnese houses, known as rumoh Aceh, is becoming increasingly scarce, particularly those that are still used as community residences. Currently, rumoh Aceh can be classified into three categories: those that are still inhabited, those that are abandoned, and replicas. Replicas of rumoh Aceh can be found as venues for cultural activities during certain times or used as museums. This research examines the use of rumoh Aceh as residences, as well as those that are no longer inhabited and replicas that are used as museums. The study aims to ensure the originality of rumoh Aceh by observing its structural elements. It is important to note that in the future, rumoh Aceh may only be found as replicas. The aim is to observe the quality of the replicated object compared to the non-replicated Aceh rumoh object. The survey method and visual documentation were used to observe these elements based on the literature. The study compared the structural elements of non-replica houses with those of replica houses. It was discovered that the replica of rumoh Aceh, specifically rumoh Cut Nyak Meutia, lacked some essential structural elements. This finding is significant, particularly in the context of preserving the values and completeness of cultural artifacts for replication efforts. Keywords: Rumoh Aceh; Structural Elements; Cultural Artefacts; Replica House; Traditional House. PubDate: 2024-06-14 DOI: 10.24252/nature.v11i1a3 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Nini Apriani Rumata, Citra Amalia Amal, Siti Fuadillah A Amin Pages: 37 - 46 Abstract: Abstrak_ Kawasan Padat yang berada di Kelurahan Pattingalloang dan Kelurahan Gusung merupakan salah satu Permukiman di Kota Makassar yang memiliki tingkat kepadatan sangat tinggi. Kondisi wilayah yang sangat padat dengan bangunan menyebabkan ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang interaksi sosial di kawasan ini sangat sempit bahkan cenderung tidak ada. Keterbatasan ruang publik yang berada lokasi penelitian ini kemudian berpotensi terbentuknya ruang publik yang bersifat spontanitas sehingga lokasi ruang terbuka tersebut tidak sesuai fungsinya, contohnya pemanfaatan jalan sebagai ruang publik sehingga muncul konflik antar ruang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasikan permasalahan ruang terbuka di Kawasan Permukiman Padat Kelurahan Pattingalloang dan Kelurahan Gusung serta Menganalisis faktor-faktor pembentuk ruang terbuka di Kawasan Permukiman Padat Kelurahan Pattingalloang dan Kelurahan Gusung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan spasial. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi lapangan dan melakukan wawancara tidak terstruktur. Pengambilan data ini berdasarkan pada Behaviour Setting yang ditinjau dari berbagai aktivitas pada lokasi penelitian. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa permasalahan dari ruang terbuka di wilayah studi adalah perubahan teritorial, ruang privat menjadi ruang publik dan ruang publik menjadi ruang privat. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk ruang terbuka publik adalah kondisi sosial warga dan pola aktivitas yang ditinjau dari kondisi fisik dan penggunaan ruang terbuka berdasarkan waktu. Kata kunci: Ruang Terbuka; Permukiman; Ruang Publik; Kawasan Padat; Makassar Abstract_ The dense area in Pattingalloang Village and Gusung Village is one of the settlements in Makassar City which has a very high-density level. The condition of the area that is very dense with buildings causes open space that functions as a space for social interaction in this area to be very narrow and even tends to be absent. The limited public space in this research location then has the potential to form a spontaneous public space so that the location of the open space is not by its function, for example, the use of roads as public space so that conflicts arise between spaces. The purpose of this research is to identify open space problems in the Pattingalloang and Gusung Urban Village Solid Settlement Areas and analyze the factors that form open space in the Pattingalloang and Gusung Urban Village Solid Settlement Areas. This research is descriptive research with a qualitative and spatial approach. The data collection technique used is field observation and conducting unstructured interviews. This data collection is based on Behavior Setting which is reviewed from various activities at the research location. The results of this study state that the problem of open space in the study area is territorial change, private space becomes public space and public space becomes private space. Factors that influence and shape the formation of open space Keywords: Open Space; Settlement; Public Space; Dense Area; Makassar PubDate: 2024-06-21 DOI: 10.24252/nature.v11i1a4 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Siluh Putu Natha Primadewi , Ida Bagus Idedhyana, Made Mariada Rijasa Pages: 47 - 62 Abstract: Abstrak_ Banyan Tree Escape berada di Payangan Gianyar Bali, memiliki konsep desain yang unik “no wall, no door” yang jarang ditemui pada properti hospitality lainnya. Akomodasi hospitality ini didesain untuk menjalin keharmonisan hubungan antara pemilik dengan tamu dan menjalin kembali hubungan manusia dengan alam lingkungan, sehingga terwujud pelayanan yang ramah dan suasana yang menyenangkan. Industri hospitality membutuhkan kehadiran alam, keterlibatan berulang dan berkelanjutan dengan alam menjadi sangat penting, menciptakan suasana relaksasi yang dapat mengurangi stress dan memberikan rasa kebugaran baru yang menyehatkan. Memasukkan unsur alam dan budaya ke dalam desain properti pada industri hospitality juga bertujuan tercapainya Sustainable Development Goals. Penelitian ini bertujuan mengkaji konsep yang dapat diterapkan untuk mencapai keterhubungan dengan alam dan tujuan keberlanjutan pada desain hospitality. Metode kualitatif deskriptif studi kasus dipakai pada penelitian ini, dengan berpedoman pada konsep Reconnecting with Nature for Sustainability, dilanjutkan dengan analisis Biodiversity Inclusive Design, analisis Nature Climate, dan analisis Vernacular Lifestyle. Hasil penelitian menunjukkan konsep pendekatan Biodiversity Inclusive Design dilakukan dengan mempertahankan kondisi keragaman hayati, meniru karakteristik habitat asli/lokal (habitat asli Desa Buahan), serta penerapan arsitektur biofilia. Konsep Nature Climate diterapkan dengan perpaduan arsitektur tropis dan arsitektur lokal. Konsep Vernacular Lifestyle dilakukan dengan mengadopsi konteks budaya dan arsitektur tradisional Bali dalam merespons rutinitas dan kejenuhan menjadi relaksasi. Kata kunci: Arsitektur Berkelanjutan; Reconnecting with Nature; Desain Hospitality Abstract_ Abstract_ Banyan Tree Escape is located in Payangan Gianyar Bali and has a unique design concept "no wall, no door" which is rarely found in other hospitality properties. This hospitality accommodation is designed to establish a harmonious relationship between the owner and guests and re-establish the relationship between humans and the natural environment, resulting in friendly service and a pleasant atmosphere. The hospitality industry requires the presence of nature, repeated and continuous engagement with nature is very important, creating an atmosphere of relaxation that can reduce stress and provide a new sense of healthy wellness. Incorporating nature and culture into property design in the hospitality industry also aims to achieve the Sustainable Development Goals. This research aims to examine concepts that can be applied to achieve a connection with nature and sustainability goals in hospitality design. The descriptive qualitative method of case study is used in this research, guided by the concept of Reconnecting with Nature for Sustainability, followed by Biodiversity Inclusive Design analysis, Nature Climate analysis, and Vernacular Lifestyle analysis. The results show that the concept of the Biodiversity Inclusive Design approach is carried out by maintaining the condition of biodiversity, imitating the characteristics of the original/local habitat (the original habitat of Buahan Village), and the application of biophilic architecture. The concept of natural climate is applied with a combination of tropical architecture and local architecture. The Vernacular Lifestyle concept is carried out by adopting the cultural context and traditional Balinese architecture in responding to routine and boredom into relaxation. Keywords: Sustainable Architecture; Reconnecting with Nature; Hospitality Design PubDate: 2024-06-20 DOI: 10.24252/nature.v11i1a5 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Mufliha Mukhtar, Agung Dwiyanto Pages: 63 - 75 Abstract: Abstrak_ Biro arsitektur di Kota Makassar umumnya didominasi oleh entitas yang belum memiliki kantor fisik untuk mencerminkan profesionalisme dan kredibilitasnya. Dalam konteks pertumbuhan kota yang pesat, kebutuhan akan kantor yang menunjukkan keprofesionalan menjadi semakin krusial. Kantor sewa menjadi salah satu solusi bagi biro arsitektur yang belum memiliki kantor fisik yang representatif. Namun, saat ini kantor sewa yang tersedia di Kota Makassar belum mampu memadai kebutuhan tersebut, padahal sangat diperlukan. Sementara itu, belum terdapat standar kriteria jenis dan luasan kebutuhan ruang kantor sewa bisnis pemula biro arsitektur sehingga dibutuhkan penelitian untuk mengidentifikasi seberapa besar unit ruang dan kebutuhan ruang apa saja yang paling dominan dibutuhkan oleh bisnis pemula biro arsitektur di Kota Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi seberapa besar unit ruang dan kebutuhan ruang apa saja yang paling dominan dibutuhkan oleh biro arsitektur pemula. Metode penelitian campuran melalui kajian literatur dan kuesioner digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang holistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruang prioritas yang dibutuhkan oleh bisnis pemula biro arsitektur berkapasitas kurang dari sepuluh orang dengan luas kebutuhan ruang kurang lebih sebesar 34,25 m2 mencakup ruang direktur, ruang staf administrasi, ruang principal architect, dan ruang studio. Sedangkan kebutuhan lainnya tetap dipertimbangkan dalam desain kantor sewa sebagai fasilitas bersama. Kata kunci: Efisiensi Ruang; Kantor Sewa; Kebutuhan Ruang; Biro Arsitektur Pemula Abstract_ Architecture firms in Makassar City are generally dominated by entities that do not yet have a physical office to reflect their professionalism and credibility. In the context of the city's rapid growth, the need for an office that demonstrates professionalism becomes increasingly crucial. Rental offices are one of the solutions for architectural firms that do not yet have a representative physical office. Still, currently, the rental offices available in Makassar City cannot meet this need, despite its importance. Meanwhile, there are no standardized criteria for the type and size of space requirements of architectural bureau start-ups' rental offices, so research is needed to identify the necessary number of space units and the most dominant space requirements for architectural bureau start-ups in Makassar City. This research aims to identify how many space units and what space needs are most dominantly needed by a beginner architectural bureau. A mixed research method through literature review and questionnaires was used to gain a holistic understanding. The results showed that the priority space required by a start-up architecture firm with a capacity of less than ten people and an area of approximately 34.25 m2 includes a director's room, administrative staff room, principal architect room, and studio room. At the same time, other needs are still considered in the rental office design as shared facilities. Keywords: Space Efficiency; Rental Office; Space Requirement; Beginner Architecture Firm PubDate: 2024-06-25 DOI: 10.24252/nature.v11i1a6 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Josephine Roosandriantini, Handayani Asriningpuri, James Efandaru, Odo Grean Kaesar Putra Wardhana Pages: 76 - 92 Abstract: Abstrak_ Keberadaan arsitektur Jawa merupakan sosok arsitektur yang hadir di tengah masyarakat berbudaya Jawa dan dari generasi ke generasi serta memiliki makna baik secara simbolik maupun arsitektural. Arsitektur Jawa bukan hanya sekedar sebuah bangunan saja, tetapi suatu wujud fisik yang memiliki simbol, detail arsitektural yang mengandung interpretasi makna di dalamnya. Isu penelitian ini muncul berkaitan dengan arsitektur Jawa di Ponorogo yaitu terlihat arsitektur Joglo Bucu (tipe rumah Jawa di Ponorogo) yang memiliki perbedaan proporsi ketinggian dengan Joglo pada umumnya dan bertransformasi menjadi lebih modern dari segi material yaitu pada bagian pelingkup (penutup) samping (dinding). Penelitian ini bertujuan untuk memahami bahwa arsitektur adalah sebuah relasi antara bentuk, fungsi, dan makna, mulai dari pelingkup (penutup) atas (atap), samping (dinding) dan bawah (lantai). Metode penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif kualitatif yang lebih pada menginterpretasi makna ruang arsitektur Joglo Bucu di Ponorogo dengan elemen arsitekturalnya yaitu griya ngajeng, griya wingking, pawon. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa interpretasi makna ruang Arsitektur Joglo Bucu di Ponorogo adalah dapat memperlihatkan rumah dengan status sosial menengah atas, karena memiliki griya wingking dan griya ngajeng. Joglo Bucu juga memiliki pawon yang memiliki makna fungsional saja. Dapat dikembangkan di penelitian selanjutnya bahwa rumah adat Ponorogo memiliki perbedaan yaitu struktur, tipologi tiap daerah. Kata kunci: Arsitektur Joglo Bucu; Interpretasi; Ponorogo; Makna Ruang Abstract_ The existence of Javanese architecture is an architectural figure that is present in Javanese cultured society, and from generation to generation and has meaning both symbolically and architecturally. Javanese architecture is not just a building, but a physical form that has symbols, architectural details that contain interpretations of meaning in them. The issue of this research arises in relation to Javanese architecture in Ponorogo, namely the Joglo Bucu architecture (a type of Javanese house in Ponorogo) which has different height proportions from Joglo in general and has transformed into a more modern one in terms of materials, namely on the side (wall) enclosures. . This research aims to understand that architecture is a relationship between form, function and meaning, starting from the top (roof), side (walls) and bottom (floor). This research method uses a qualitative descriptive method which is more about interpreting the meaning of the Joglo Bucu architectural space in Ponorogo with its architectural elements, namely Griya Ngajeng, Griya Wingking, Pawon. The results of this research are that the Interpretation of the Meaning of the Joglo Bucu Architectural Space in Ponorogo is that it can show a house with upper middle social status, because it has a wingking house and a ngajeng house. Joglo Bucu also has a pawon which only has functional meaning. It can be developed in further research that Ponorogo traditional houses have differences, namely the structure and typology of each region. Keywords: Joglo Bucu Architecture; Interpretation; Ponorogo; Spatial Meaning PubDate: 2024-06-20 DOI: 10.24252/nature.v11i1a7 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Arif Taslim , Ratih Widiastuti Pages: 93 - 110 Abstract: Abstrak_ Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dengan sinar matahari sepanjang tahun. Hal ini menjadikan penggunaan sun shading pada bangunan sangat lah penting. Disisi lain Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo merupakan salah satu sarana infrastruktur untuk pengelolaan dan pengendalian banjir di wilayah Sungai Bengawan Solo. Desain bangunan yang ada saat ini menggunakan banyak bukaan dinding tanpa dilengkapi dengan sun shading memungkinkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan menjadi tinggi. Untuk itu dilakukan studi terhadap aspek pembayangan pada desain fasad bangunan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dengan pendekatan Arsitektur Tropis. Metode simulasi menggunakan software SketchUp untuk membandingkan efek dari pembayangan sebelum dan setelah desain bangunan menggunakan secondary skin. Hasil simulasi menunjukkan bahwa desain existing bangunan memiliki potensi yang cukup besar di dalam memasukkan sinar matahari ke dalam ruangan. Luas area yang terkena sinar matahari adalah 4 m2 – 11 m2 saat pagi hari dan 14 m2 – 31 m2 saat sore hari. Sedangkan hasil simulasi setelah fasad bangunan menggunakan secondary skin menunjukkan penurunan area yang tersinari matahari. Di pagi hari area yang tersinari matahari menjadi 2 m2 - 3 m2 atau berkurang sekitar 33 % - 57 %. Sedangkan di siang hari, luas area yang tersinari matahari adalah 3.5 m2 - 8 m2 atau terjadi penurunan sekitar 50 % - 60 %. Dengan demikian penempatan secondary skin terbukti mampu mengurangi intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan. Kata kunci: Arsitektur Tropis; Metode Simulasi Pembayangan; Optimalisasi Pembayangan; Secondary Skin Abstract_ Indonesia is a tropical country and has sunshine throughout the year. Therefore, the use of sun shading on the building façade is important. In other hand, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo is one of infrastructures for flood management and control in the Bengawan Solo River area. The current building design uses many wall openings without being equipped with sun shading, allowing the high intensity of sunlight entering the room. Due to this issue, a study was carried out to identify the shading effect on the façade design of Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. Tropical architecture concept was used as a design approach. Simulation method used SketchUp was conducted to compare the effect of before and after secondary skin applied on the façade. The simulation results showed the existing building design had potential to enable high sunlight entering the room. The exposed area to the sunlight was 4 m2 – 11 m2 in the morning and 14 m2 – 31 m2 in the afternoon. While the results after secondary skin was applied on the façade showed a decrease in the area that exposed to the sunlight. It became 2 m2 - 3 m2 or decreased around 33% - 57% in the morning and 3.5 m2 - 8 m2 or decreased around 50% - 60% in the afternoon. Thus, it proves applying secondary skin on the building façade is effectively reducing the intensity of sunlight that enters the room. Keywords: Secondary Skin; Shading Optimization; Shading Simulation Method; Tropical Architecture PubDate: 2024-06-11 DOI: 10.24252/nature.v11i1a8 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)
Authors:Nur Lailatush Shiyam, Previari Umi Pramesti, Ratih Widiastuti Pages: 111 - 121 Abstract: Abstrak_ Kualitas akustik sebuah ruangan merupakan salah satu parameter untuk menentukan kenyamanan dan kesehatan di dalam sebuah bangunan. Untuk merencanakan akustik sebuah ruangan maka perlu memperhatikan fungsi ruang, kondisi lingkungan, dan sumber kebisingan. Gedung pertemuan sebagai salah satu fasilitas umum juga tidak lepas dari perencanaan akustik untuk interior ruangnya. Untuk itu dilakukan lah studi untuk mengetahui kualitas akustik di dalam sebuah gedung pertemuan. Dua metode digunakan di dalam studi ini yaitu pengukuran langsung di lapangan dan simulasi dengan menggunakan software I-Simpa V.I.3.4. Hasil pengambilan data di lapangan menunjukkan nilai decibel sumber suara yaitu 77.5 dB. Sedangkan hasil simulasi dengan melakukan pengujian beberapa material menemukan bahwa penggunaan gipsum yang dilengkapi dengan isolator bunyi, panel serat kaca pada langit-langit, tirai, dan kayu pada lantai dapat meredam kebisingan dari lingkungan di sekitar bangunan dan menghasilkan nilai decibel antara 34.6 – 46.4 dBA dan waktu dengung antara 1.00 – 0.49s. Kata kunci: Akustik Ruang; Kebisingan; Material Akustik; Software I-Simpa V.I.3.4; Waktu Dengung Abstract_ The acoustic quality in the space is one of the important parameters to determine the comfort and health inside a building. To create a proper acoustic design, the function, environment, and noise around the rooms needed to be considered. Hall as one of the public facilities also needs a proper acoustic design for its interior space. Therefore, a study to identify the acoustic quality of the hall was conducted. Two methods were adopted in this study i.e., field measurement to collect existing acoustic data and computer simulation using I-Simpa V.I.3.4. Data showed the decibel value of sound source is 77.5 dB. The results from the simulation using various acoustic materials i.e., gypsum equipped with sound isolator as wall material, glass fiber panels as ceiling material, curtain, and wood as floor material can reduce the noise from the environment around the building between 34.6 – 46.4 dBA and reverberation time (RT) between 1.00 – 0.49 second. Keyword: Acoustic Materials; I-Simpa V.1.3.4. Software; Noise; Reverberation Time; Space Acoustics PubDate: 2024-06-20 DOI: 10.24252/nature.v11i1a9 Issue No:Vol. 11, No. 1 (2024)