Subjects -> NUTRITION AND DIETETICS (Total: 201 journals)
| A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z | We no longer collect new content from this publisher because the publisher has forbidden systematic access to its RSS feeds. |
|
|
- Back matter PGM VOL 44 NO 2 TAHUN 2021
Abstract: Back matter PGM VOL 44 NO 2 TAHUN 2021 PubDate: Fri, 31 Dec 2021 17:02:10 SE A
- Front matter PGM VOL 44 NO 2 TAHUN 2021
Abstract: Front matter PGM VOL 44 NO 2 TAHUN 2021 PubDate: Fri, 31 Dec 2021 17:01:17 SE A
- PENGARUH KARAKTERISTIK KELUARGA DAN STATUS GIZI ANAK DENGAN PERKEMBANGAN
KOGNITIF ANAK USIA PRASEKOLAH DI KOTA BOGOR Authors: Dwi Anggraeni Puspitasari; Lilik Kustiyah, Cesilia Meti Dwiriani, Yekti Widodo Abstract: ABSTRACT The incidence of stunting and delays in cognitive abilities is a problem that still occurs in Indonesia. This study aims to analyze the effect of family characteristics and subject characteristics on cognitive abilities in preschool children in the city of Bogor. This study uses a case-control design on some of the data from the Child Development Cohort (TKA) study located in the city of Bogor. The case group is preschool children with delayed cognitive development and the control group is preschool children with normal cognitive development. The number of subjects in this study was 84 children, consisting of 42 children in the case group and 42 children in the control group. The variables analyzed included family characteristics (parental education, parental occupation, and family size), subject characteristics (gender, anthropometry at birth, nutritional status at birth), health status, and the parenting environment, and children's cognitive development. The results of the analysis show that the increase in height of children 0-4 years has an effect on the cognitive development of preschool children. Children with height gain that is not in accordance with WHO standards are at risk of 4.1 times experiencing delayed cognitive development. In an effort to increase the growth and cognitive development of children, access to education and the provision of a good nurturing environment must be increased. Fulfilling the nutritional needs of preschool children that are appropriate so that children's height growth is optimal and providing good psychosocial parenting can optimize their cognitive development. In addition, the provision of stimulation according to the child's age is needed to support more optimal growth and development of children. ABSTRAK Kejadian stunting dan keterlambatan kemampuan kognitif merupakan masalah yang masih terjadi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan karakteristik subjek terhadap kemampuan kognitif pada anak usia prasekolah di Kota Bogor. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol pada sebagian data studi Kohor Tumbuh Kembang Anak (TKA) yang berlokasi di Kota Bogor. Kelompok kasus adalah anak prasekolah yang mengalami gangguan perkembangan kognitif terlambat dan kelompok kontrol yakni anak prasekolah dengan perkembangan kognitif normal. Jumlah subjek pada penelitian ini adalah 84 anak terdiri dari kelompok kasus 42 anak dan kelompok kontrol 42 anak. Variabel yang dianalisis meliputi karakteristik keluarga (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan besar keluarga), karakteristik subjek (jenis kelamin, antropometeri saat lahir, status gizi saat lahir) status kesehatan, dan lingkungan pengasuhan, dan perkembangan kognitif anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertambahan tinggi badan anak 0-4 tahun berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak prasekolah. Anak dengan pertambahan tinggi yang tidak sesuai dengan standar WHO berisiko 4,1 kali mengalami perkembanan kognitif yang terlambat. Sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kogntiif anak maka akses terhadap pendidikan dan pemberian lingkungan pengasuhan yang baik harus ditingkatkan. Pemenuhan kebutuhan gizi anak prasekolah yang sesuai agar pertumbuhan tinggi badan anak optimal dan dengan pemberian pola asuh psikososial yang baik dapat mengoptimalkan perkembangan kognitifnya. Selain itu, pemberian stimulasi yang sesuai dengan usia anak diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih optimal. [Penel Gizi Makan 2021, 44(2):105-113] PubDate: Fri, 31 Dec 2021 16:52:13 SE A
- DIET BERAS MERAH DAN BERAS PUTIH PRATANAK PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
Authors: Dita Kristanti; Viera Nu’riza Pratiwi, Endang S Rahayu, Mary Astuti Abstract: ABSTRACT Hyperglycemia is a carbohydrate metabolism disorder causing diabetes. The difference in glycemic index (GI) in red rice and white rice causes different effects on blood glucose. Precooked rice processing causes starch retrogradation which can form Resistant Starch (RS) thereby lowering the GI of rice. Resistant starch is fermented into Short Chain Fatty Acids (SCFAs) and affects the colonic microbiota population. This study aims to determine the effect of precooked red rice and precooked white rice consumption on fasting blood glucose concentration, Ferric Reducing Ability on Plasma (FRAP) concentration, Escherichia coli, and Lactobacillus populations, and SCFAs digesta in hyperglycemic Wistar rats. This study was conducted using 24 male Wistar rats aged 8 weeks with a bodyweight of 200-220 grams. The rats were divided into 4 treatment groups: healthy (S), hyperglycemic (H), a hyperglycemic diet of precooked red rice (H+BMP), and hyperglycemic rats of precooked white rice diet (H+BPP). Consumption of precooked red rice (BMP) for 6 weeks was shown to reduce fasting blood glucose concentration (57.95%), while consumption of cooked white rice (BPP) actually increased fasting blood glucose concentration (4.16%) in hyperglycemic rats. Consumption of BMP also resulted in higher blood antioxidant capacity than BPP. However, consumption of BMP and BPP had no significant effect on the E. coli population, Lactobacillus population, and SCFAs digesta levels. ABSTRAK Hiperglikemia adalah suatu tanda gangguan metabolisme karbohidrat yang menyebabkan penyakit diabetes. Perbedaan Indeks Glikemik (IG) pada beras merah dan beras putih menyebabkan perbedaan efek pada glukosa darah. Pengolahan beras secara pratanak menyebabkan retrogradasi pati yang dapat membentuk Resistant Starch (RS) sehingga menurunkan IG pada beras. Resistant starch difermentasi menjadi Short Chain Fatty Acids (SCFAs) dan mempengaruhi populasi mikrobiota di kolon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi beras merah dan beras putih precooked terhadap konsentrasi glukosa darah puasa, konsentrasi Ferric Reducing Ability on Plasma (FRAP), populasi Escherichia coli dan Lactobacillus, serta SCFAs digesta tikus Wistar hiperglikemia. Penelitian ini dilakukan menggunakan 24 ekor tikus putih Wistar jantan berumur 8 minggu dengan berat badan 200-220 gram. Tikus dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan: sehat (S), hiperglikemia (H), hiperglikemia diet beras merah pratanak (H+BMP), dan tikus hiperglikemia diet beras putih pratanak (H+BPP). Konsumsi beras merah pratanak (BMP) selama 6 minggu terbukti menurunkan konsentrasi glukosa darah puasa (57.95%), sedangkan konsumsi beras putih pratanak (BPP) justru meningkatkan konsentrasi glukosa darah puasa (4.16%) pada tikus hiperglikemia. Konsumsi BMP juga menghasilkan kapasitas antioksidan darah yang lebih tinggi dibandingkan BPP. Namun, konsumsi BMP dan BPP tidak berpengaruh nyata terhadap populasi E. coli, populasi Lactobacillus, dan kadar SCFAs digesta. [Penel Gizi Makan 2021, 44(2):93-104] PubDate: Fri, 31 Dec 2021 16:46:17 SE A
- FAKTOR DETERMINAN BALITA STUNTING PADA DESA LOKUS DAN NON LOKUS DI 13
KABUPATEN LOKUS STUNTING DI INDONESIA TAHUN 2019 Authors: Yurista Permanasari; Ika Saptarini, Nurilah Amalia, aditianti aditianti, Amalia Safitri, Nuzuliyati Nurhidayati, Yunita Diana Sari, Prisca Pretty Arfines, Irlina R. Irawan, Dyah Santi Puspitasari, Febriani Syahrul, Budi Setyawati, Rika Rachmawati, Elisa Diana Julianti, Rika Rachmalina, Andi Susilawati, Novianti Sihombing, Sisca Dwi Kumlasari Abstract: ABSTRACT The implementation of government policies in stunting prevention has been carried out from the central level to the village level. The Ministry of Home Affairs annually establishes stunting locus villages in 34 provinces. At the stunting locus village, sensitive and specific interventions were carried out. Many factors influence the prevalence of stunting. This study aims to determine the determinants of stunting in locus and non-locus villages in 13 stunting locus districts in Indonesia. This study was a quantitative study with a cross-sectional design. The study was conducted in 13 districts of stunting locus. Each district was chosen one sub-district which was then selected one locus of stunting village and one village of non locus. In each village 90 children were selected. Data analysis was carried out univariate, bivariate, and multivariate with logistic regression test to see the relationship between independent and dependent variables after being controlled by several variables. The results showed that 20 percent lower chance of stunting in locus villages than non locus villages. Toddlers who are breastfed for more than 24 months have a 1.7 times risk of becoming stunted. Toddlers who do not do early initiation of breastfeeding have a 1.5 times risk of becoming stunted compared to toddlers who do early initiation of breastfeeding. High maternal education can prevent stunting 2 times compared to mothers with low education. The selection of stunting locus villages affects the prevalence of stunting. In addition, several determinant factors influence the incidence of stunting, namely the sex of the child, the duration of breastfeeding more than 24 months, the child's age, early initiation of breastfeeding, growth monitoring, the mother's age and the mother's education. ABSTRAK Implementasi kebijakan pemerintah dalam pencegahan stunting telah dilaksanakan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat desa. Kementerian Dalam Negeri setiap tahun menetapkan desa lokus stunting di 34 provinsi. Pada desa lokus stunting dilakukan intervensi sensitif dan spesifik. Banyak faktor yang mempengaruhi prevalensi stunting. Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan kejadian stunting pada desa lokus dan non lokus di 13 kabupaten lokus stunting di Indonesia. Studi ini merupakan studi kuantitatif dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di 13 Kabupaten lokus stunting, setiap kabupaten dipilih satu kecamatan yang kemudian dipilih satu desa lokus stunting dan satu desa non lokus. Pada setiap desa dipilih 90 balita. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan uji regresi logistik untuk melihat hubungan variabel bebas dan terikat setelah dikontrol oleh beberapa variabel. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peluang terjadinya stunting 20 persen lebih rendah di desa lokus dibanding desa non lokus. Balita yang mendapatkan ASI lebih dari 24 bulan berisiko 1,7 kali menjadi stunting. Balita yang tidak melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) berisiko 1,5 kali menjadi stunting dibandingkan dengan balita yang melakukan IMD. Pendidikan ibu yang tinggi dapat mencegah kejadian stunting 2 kali dibandingkan ibu berpendidikan rendah. Pemilihan desa lokus stunting memengaruhi kejadian stunting. Selain itu, terdapat beberapa faktor determinan yang memengaruhi kejadian stunting yaitu jenis kelamin anak, durasi menyusui ASi lebih dari 24 bulan, usia anak, IMD, pemantauan pertumbuhuan, umur ibu dan pendidikan ibu. [Penel Gizi Makan 2021, 44(2):79-92] PubDate: Fri, 31 Dec 2021 16:39:31 SE A
- SOSIODEMOGRAFI STUNTING PADA BALITA DI INDONESIA
Authors: Sudikno sudikno; Yekti Widodo, Irlina Raswanti Irawan, Doddy Izwardy, Vivi Setiawaty, Budi Setyawati, Yunita Diana Sari, Dyah Santi Puspitasari, Feri Ahmadi, Rika Rachmawati, Amalia Safitri, Nurilah Amaliah, Prisca Petty Arfines, Bunga Christitha Rosha, Aditianti Aditianti, Elisa Diana Julianti, Joko Pambudi, Nuzuliyati Nurhidayati, Febriani Febriani Abstract: ABSTRACT The problem of stunting in children under five (0-59 months) is still a public health problem, especially in developing countries. This study aims to measure the prevalence of stunting and determine its sociodemography risk factors in Indonesia. This study was a nationwide survey in 514 districts consisting of 32,000 census blocks (320,000 households). The study design was cross-sectional. The population of this study was all families of children under five in all districts in Indonesia. The sample was households with children under five which were visited by Susenas (National Sociodemographic Survey) in March 2019. The data collected were the length/height of children under-five of age, gender, age (months), region (rural and urban), all provinces which were divided into 7 regions. (Java-Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua), and diarrhea. The results showed that the prevalence of stunting in children under five (0-59 months) was 27.6 percent. Multivariate regression analysis showed that children 12 month old and older, living in rural areas (AOR=1,444; 95% CI: 1,442-1,447), in the Nusa Tenggara region (AOR=1,874; 95% CI: 1,866-1,882), and suffering from diarrhea (AOR=1,409; 95%CI: 1,401-1,417) were more at risk of becoming stunted. ABSTRAK Masalah stunting pada balita (0-59 bulan) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi stunting dan faktor risiko stunting menurut sosiodemografi di Indonesia. Penelitian ini merupakan survei nasional di 514 kabupaten/kota yang terdiri dari 32.000 blok sensus (320.000 rumah tangga). Desain penelitian adalah cross-sectional. Populasi dari penelitian ini adalah semua keluarga balita yang ada di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia. Sampel adalah rumah tangga yang memiliki balita yang dikunjungi oleh Susenas Maret 2019. Data yang dikumpulkan adalah panjang/tinggi badan balita, jenis kelamin, umur (bulan), wilayah (perdesaan dan perkotaan), provinsi yang dibagi dalam 7 wilayah (Jawa bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua), dan penyakit diare pada balita. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting pada balita (0-59 bulan) sebesar 27,6 persen. Analisis regresi multivariate menunjukkan bahwa balita yang berumur lebih dari 11 bulan, tinggal di perdesaan (AOR=1,444; 95% CI: 1,442-1,447), wilayah Nusa Tenggara (AOR=1,874; 95% CI: 1,866-1,882) dan yang menderita diare (AOR=1,409; 95%CI: 1,401-1,417) lebih berisiko untuk menjadi stunting. [Penel Gizi Makan 2021, 44(1):71-78] PubDate: Fri, 31 Dec 2021 16:35:03 SE A
- RISIKO PAPARAN KADMIUM DARI COKELAT BATANG PADA KONSUMEN DI INDONESIA
Authors: Dias Erfan; Lilis Nuraida, Puspo Edi Giriwono Abstract: ABSTRACT Cadmium (Cd) is a common contaminant found in cocoa derivative products such as chocolate bars because it is carried away from cocoa beans. The popularity of chocolate bars among Indonesian consumers may pose a health risk due to Cd content in chocolate bars. The present study aimed to estimate the risk of dietary exposure on Cd from chocolate bars to the Indonesian population. The data of chocolate bars consumption in 1324 respondents were obtained from Individual Food Consumption Survey in 2014. Samples of 10 different variants of chocolate bars were collected from markets in Indonesia from the provinces of DKI Jakarta and West Java. All samples were analyzed for their Cd content using Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrometry (ICP-MS). The results show the highest average consumption of chocolate bars was found in adolescence (13-18 years), followed by a toddler (6-59 months) and children (5-12 years). Cd content in chocolate bars ranged between 0.00012 mg/kg to 0.12 mg/kg with the highest content was found in one variant of sweet dark chocolate bar. None of the samples contained Cd above the maximum limits of Cd (0.5 mg/kg in chocolate bar products) as regulated by NADFC. The highest average exposure to Cd from chocolate bars was found in toddlers (6-59 months), 0.09336 µg/kg BW/day. The average, maximum, and P95th exposures to Cd from chocolate bars in all age groups did not exceed its Provisional Tolerable Monthly Intake (PTMI), indicating that the exposure to Cd through chocolate bar products do not pose any potential risk to human health. ABSTRAK Kadmium (Cd) merupakan kontaminan yang umum ditemukan pada produk turunan kakao seperti coklat batang karena terbawa dari biji kakao. Popularitas cokelat batang di kalangan konsumen Indonesia dapat menimbulkan risiko kesehatan akibat kandungan Cd dalam cokelat batang. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan risiko tingkat paparan Cd dari cokelat batang pada populasi di Indonesia. Data konsumsi cokelat batang pada 1324 responden diperoleh dari Survei Konsumsi Makanan Individu tahun 2014. Sebanyak 10 sampel batang cokelat dari varian yang berbeda dikumpulkan dari pasar di Indonesia dari provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Seluruh sampel dianalisis kandungan Cd-nya menggunakan metode Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrometry (ICP-MS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi cokelat batang tertinggi ditemukan pada kelompok remaja (13-18 tahun), diikuti oleh balita (6-59 bulan) dan anak-anak (5-12 tahun). Kadar Cd pada seluruh cokelat batang berkisar antara 0,00012 mg/kg sampai 0,12 mg/kg dengan kadar Cd tertinggi terdapat pada salah satu varian coklat batang hitam manis. Tidak ada sampel yang mengandung Cd di atas batas maksimum Cd (0,5 mg/kg pada produk cokelat batang) sebagaimana diatur oleh BPOM. Rata-rata paparan Cd dari cokelat batang tertinggi ditemukan pada kelompok balita (6-59 bulan) yaitu sebesar 0,09336 µg/kg bb/hari. Nilai paparan rata-rata, maksimum dan P95 untuk Cd dari cokelat batang di kelompok seluruh umur tidak melebihi Provisional Tolerably Monthly Intake (PTMI) yang menunjukkan bahwa paparan Cd melalui produk cokelat batang tidak menimbulkan risiko potensial bagi kesehatan manusia. [Penel Gizi Makan 2021, 44(2):59-70] PubDate: Fri, 31 Dec 2021 16:18:42 SE A
|