|
|
- Peran Perceived Organizational Support terhadap Subjective Career Success
pada Guru Authors: Devina Andriany, Anasthasya Devicasary Dua Lembang, Tri Muji Ingarianti Pages: 1 - 14 Abstract: Guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan, ketika pandangan kesuksesan seorang guru adalah keberhasilan dari anak didiknya. Namun, ditemukan pandangan kesuksesan guru masih dari sisi objektif padahal kesuksesan dapat dipandang oleh diri sendiri terhadap kariernya dan peran eksternal yang ikut andil dalam mendukung karier guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran perceived organizational support terhadap subjective career success pada guru. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Sampel penelitian terdiri dari 320 guru yang dipilih dengan teknik accidental sampling. Karakteristik guru yang menjadi subjek penelitian sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2015. Pengumpulan data menggunakan alat ukur berupa skala Survey Perceived Organizational Support (SPOS) dan Subjective Career Success Inventory (SCSI). Hipotesis penelitian ini diuji menggunakan teknik analisis data regresi sederhana. Hasil penelitian ini terdapat peran perceived organizational support terhadap subjective career success dengan nilai p < 0.05. Kemudian terdapat peran perceived organizational support terhadap delapan dimensi subjective career success dengan nilai signifikansi masing-masing p < 0.05. Artinya, terdapat peran perceived organizational support terdapat subjective career success secara keseluruhan maupun perdimensi. Selain itu, variabel perceived organizational support memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,639 dan bersifat positif yang artinya semakin tinggi perceived organizational support maka semakin tinggi pula tingkat subjective career success. Hasil yaitu sebesar 0,262 yang menunjukkan bahwa perceived organizational support berkontribusi sebesar 26,2% terhadap subjective career success. Diharapkan penelitian ini mampu menjadi pertimbangan sekolah untuk memberikan dukungan terhadap guru guna meningkatkan subjective career success pada guru. The teacher is one of the determining factors for the success of education, where the view of a teacher's success is the success of his students. However, it was found that the view of teacher success is still from an objective side even though success can be seen by oneself in terms of their career and the external role that contributes to supporting the teacher's career. This study aims to examine the role of perceived organizational support on subjective career success in teachers. The method in this study was quantitative with a sample of 320 teachers with the characteristics listed in Law no. 14 of 2015 using an accidental sampling technique. Data collection using the measurement tool used is the Survey Perceived Organizational Support (SPOS) scale and the Subjective Career Success Inventory (SCSI) scale. The research hypothesis was tested using a simple regression data analysis technique. The results of this study show the role of perceived organizational support on subjective career success with a p value <0.001. Then there is the role of perceived organizational support on the eight dimensions of subjective career success with a significance value of each p < 0.001. That is, there is a role of perceived organizational support and subjective career success as a whole and per dimension. It is hoped that this research will be a consideration for schools to support teachers in order to increase their subjective career success. PubDate: 2024-01-22 DOI: 10.15294/intuisi.v15i2.36299 Issue No: Vol. 15, No. 2 (2024)
- Keterlibatan Ayah dan Strategi Regulasi Emosi pada Remaja Tunarungu
Authors: Trisya Christine Mayong, Sandra Handayani Sutanto Pages: 15 - 29 Abstract: Tunarungu adalah individu yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran. Gangguan pendengaran yang dialami seringkali menjadi sumber dari berbagai masalah dalam aspek kehidupan sosial individu akibat kesulitan dalam berkomunikasi. Akibatnya hal ini dapat mengakibatkan gangguan relasi yang menciptakan masalah pada regulasi emosi. Hal ini dapat memengaruhi kesejahteraan hidup penyandang tunarungu. Satu hal yang dapat membantu mengatasi hal ini adalah keterlibatan ayah. Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah, melalui dimensi-dimensinya yang mencakup engagement, accessibility, dan responsibility dapat membantu perkembangan strategi regulasi emosi – yang terdiri atas cognitive reappraisal dan expressive suppression. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau hubungan antara keterlibatan ayah pada strategi regulasi emosi pada remaja tunarungu dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif yang dilakukan terhadap 84 partisipan dengan karakteristik penyandang tunarungu berusia 10 sampai 21 tahun. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa keterlibatan ayah memiliki hubungan positif dengan strategi cognitive reappraisal pada remaja tunarungu, dan tidak memiliki hubungan dengan strategi expressive suppression. Selain itu, dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan uji korelasi antar dimensi variabel, serta uji beda terhadap data demografis. PubDate: 2024-01-25 DOI: 10.15294/intuisi.v15i2.30198 Issue No: Vol. 15, No. 2 (2024)
- Personal Growth Initiative Remaja Ditinjau dari Karakteristik Kepribadian
Authors: Putri Saraswati Pages: 30 - 42 Abstract: Perubahan fisik, kognitif, emosi pada remaja dapat menimbulkan stres dalam diri remaja sehingga dibutuhkan usaha untuk berubah menjadi lebih baik, atau dalam psikologi disebut personal growth initiative. Salah satu faktor yang memengaruhi personal growth initiative adalah kepribadian yang dimiliki remaja. Kepribadian sendiri memiliki tipe-tipe yang berbeda sehingga memiliki pengaruh yang berbeda pada personal growth initiative remaja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan dan pengaruh kepribadian pada personal growth initiative remaja. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan teknik analisis data ANOVA. Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 347 siswa SMA berusia remaja di kota Malang. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan skala likert personal growth initiative dan big-five-personality. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh dan perbedaan antara kepribadian terhadap personal growth initiative (F=8.946, p<0.001). Perbedaan terbesar terdapat pada kepribadian openness to experience (O) dan perbedaan terendah pada kepribadian extraversion (E). Sementara kepribadian openness to experience (O) dan conscientiousness (C) tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada personal growth initiative (t=4.331, p 0.309). Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan personal growth initiative remaja dapat dilakukan dengan mempelajari karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh kepribadian openness to experience (O) dan conscientiousness (C).Physical, cognition, emotional conditions can cause stress in adolescents so that it takes effort to change for the better, or in psychology it is called personal growth initiative. One of the factors that influence personal growth initiative is the personality possessed by adolescents. Personality itself has different types so that it has different effects on adolescent personal growth initiative. The purpose of this study was to determine the differences and effects of personality on adolescent’s personal growth initiative. The research method is quantitative with ANOVA data analysis. This study used a subject as many as 347 teenage high school students in the city of Malang. The sampling technique used was cluster random sampling. The research data were taken using the Likert personal growth initiative scale and BIG five personality. The results showed that there were influences and differences between personality and personal growth initiative (F = 8,946, p <0.001). The biggest difference was in personality openness to experience (O) and the lowest difference was in personality extraversion (E). While openness to experience (O) and conscientiousness (C) personalities did not have a significant difference in personal growth initiative (t = 4.331, p 0.309). Therefore, to be able to increase adolescent personal growth initiative can be done by studying the characteristics possessed by openness to experience (O) and conscientiousness (C) personalities. PubDate: 2024-02-25 DOI: 10.15294/intuisi.v15i2.30374 Issue No: Vol. 15, No. 2 (2024)
- Adaptasi Instrumen The Resiliency Scale for Young Adults Versi Bahasa
Indonesia pada Populasi Emerging Adulthood Authors: Putu Getsha Pradnyan Rarasati Mudita, Fredrick Dermawan Purba, Ahmad Gimmy Prathama Siswadi Pages: 43 - 54 Abstract: Remaja menghadapi banyak tantangan selama masa transisi menuju dewasa. Dibutuhkan ketahanan diri atau resiliensi untuk membantu remaja berkembang terlepas dari kesulitan yang dihadapi. Untuk mengetahui bagaimana dewasa awal mengembangkan kemampuan resiliensi, dibutuhkan instrumen yang valid dan reliabel. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas konstruk dari skala The Resiliency Scale for Young Adults (RSYA). Data yang digunakan diperoleh dari 279 populasi dewasa awal usia 18─25 tahun dengan mayoritas berjenis kelamin perempuan dan rata-rata usia 21 tahun. Partisipan umumnya berlatar belakang pendidikan minimal SMA/SMK sehingga sebagian besarnya saat ini adalah mahasiswa dengan rata-rata pengeluaran per bulan kurang dari Rp1.000.000. Asal daerah partisipan beragam dari seluruh Indonesia, dengan lebih dari setengahnya berasal dari Provinsi Jawa Barat. Metode analisis yang digunakan adalah Confirmatory Factor Analysis (CFA). Hasil pengujian membuktikan model RSYA memenuhi kriteria fit dan terbukti reliabel (α = 0,931) dengan indeks kesesuaian RMSEA = 0.079, Standardized RMR = 0.078, CFI = 0.91, dan IFI = 0.91. Validitas konvergen-diskriminan diuji menggunakan instrumen DASS (Depression Anxiety Stress Scale) dan SWLS (Satisfaction with Life Scale) dengan hasil dua faktor protektif (sense of mastery dan sense of relatedness) berkorelasi negatif dengan DASS dan positif dengan SWLS. Sebaliknya, faktor risiko (emotional reactivity) berkorelasi positif dengan DASS dan negatif dengan SWLS. Studi ini menunjukkan RSYA versi bahasa Indonesia valid dan dapat diandalkan untuk mengukur resiliensi pada populasi awal di Indonesia. Adolescents face many challenges during the transition to adulthood. It takes personal resiliency to help adolescents thrive despite the difficulties they faced. To find out how early adults developed resilience capabilities, a valid and reliable measuring instrument is needed. Therefore, this study aims to test the construct validity of The Resiliency Scale for Young Adults (RSYA). The data was obtained from 279 early adult population aged 18 ─ 25 years with the majority being female, with an average age of 21 years. Participants generally have a minimum high school/vocational education background, therefore, most of them are currently college students with an average monthly expenditure of less than Rp1,000,000. Regional origins of participants vary from all over Indonesia, with more than half coming from West Java Province. The analysis method used was Confirmatory Factor Analysis (CFA). The test results proved that the RSYA model met the fit criteria and was proven to be reliable (α = 0.931) with a conformity index of RMSEA=0.079, Standardized RMR=0.078, CFI=0.91, and IFI=0.91. The convergent-discriminants validity was tested using DASS (Depression Anxiety Stress Scale) and SWLS (Satisfaction with Life Scale) instruments with the results that two protective factors (sense of mastery and sense of relatedness) correlated negatively with DASS and positively with SWLS. In contrast, risk factors (emotional reactivity) correlate positively with DASS and negatively with SWLS. This study shows Indonesian version of RSYA is valid and reliable for measuring resilience in early populations in Indonesia. PubDate: 2024-03-01 DOI: 10.15294/intuisi.v15i2.42239 Issue No: Vol. 15, No. 2 (2024)
- Mentoring is Curing: Investigasi Peran Health Mentoring Program dan Durasi
Sakit pada Gastritis Sensation Authors: Vika Yuning Tiyas, Anna Undarwati Pages: 55 - 70 Abstract: World Health Organization (WHO), melaporkan bahwa prevalensi radang lambung (gastritis) di Indonesia terus meningkat mencapai 40,8%, dengan beberapa daerah memiliki tingkat kasus yang cukup tinggi, yaitu 274.396 dari 238.452.952 penduduk. Penyebab gastritis yang beragam membutuhkan pemahaman mendalam tentang kondisi ini serta penting untuk melakukan pencegahan, pengobatan, dan perawatan yang efektif. Health Mentoring Program diduga dapat membantu mengatasi masalah gastritis, tetapi efektivitasnya tidak selalu konsisten pada semua kasus. Durasi lama sakit juga diduga memengaruhi gastritis sensation. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Health Mentoring Program dan durasi lama sakit terhadap gastritis sensation. Dilakukan dengan metode kuasi-eksperimental, 229 responden dibagi menjadi kelompok eksperimen yang menerima Health Mentoring Program selama 30 hari dan kelompok kontrol, yaitu tidak menerima program. Gastritis sensation diukur menggunakan Gastritis Sensation Report dan analisis data menggunakan General Linear Model Univariate. Hipotesis yang menyatakan bahwa HMP memiliki pengaruh terhadap gastritis sensation diterima, dengan hasil uji statistik yang menunjukkan F (1,225) = 29.221, p < 0.001, ηp² = 0.115. Selain itu, tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari durasi lama sakit terhadap tingkat gastritis sensation (F (1,225) = 0.201, p < 0.654, ηp² = 0.001). Analisis interaksi antara durasi lama sakit dan HMP juga tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap gastritis sensation (F (1,225) = 0.072, p < 0.789). Ini menegaskan bahwa efek HMP secara konsisten mengurangi gastritis sensation, tidak dipengaruhi oleh durasi lama sakit. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mempertimbangkan faktor lain yang berpotensi memengaruhi gastritis sensation. The World Health Organization (WHO) reports a steady increase in the prevalence of gastritis in Indonesia, reaching 40.8%, with some regions experiencing significantly high case rates, totaling 274,396 out of 238,452,952 population. Understanding the diverse causes of gastritis is crucial for effective prevention, treatment, and care. While the Health Mentoring Program (HMP) is believed to address gastritis issues, its effectiveness varies across cases. Additionally, the duration of pain is suspected to impact gastritis sensation. This study aims to examine the influence of the Health Mentoring Program and the duration of pain on gastritis sensation. Conducted through a quasi-experimental method, 229 respondents were divided into an experimental group receiving the HMP for 30 days and a control group not participating in the program. Gastritis sensation was measured using the Gastritis Sensation Report, and data analysis was performed using the General Linear Model Univariate. The hypothesis that HMP affects gastritis sensation is accepted, with statistical results showing F (1,225) = 29.221, p < 0.001, ηp² = 0.115. Furthermore, there was no significant influence of the duration of pain on gastritis sensation levels (F (1,225) = 0.201, p < 0.654, ηp² = 0.001). Interaction analysis between the duration of pain and HMP also did not significantly influence gastritis sensation (F (1,225) = 0.072, p < 0.789). This confirms that the HMP consistently reduces gastritis sensation, regardless of the duration of pain. Future research should consider other potential factors affecting gastritis sensation. PubDate: 2024-03-12 DOI: 10.15294/intuisi.v15i2.49807 Issue No: Vol. 15, No. 2 (2024)
- Efektivitas Dialectical Behavior Therapy (DBT) Meningkatkan Regulasi
Emosi: Studi Meta-Analisis Authors: Lucia Citra Pertiwi, Ananta Yudiarso Pages: 71 - 80 Abstract: Tujuan penelitian meta-analisis ini untuk menjelaskan efektivitas intervensi Dialectical Behavior Therapy (DBT) untuk meningkatkan regulasi emosi pada penderita gangguan psikologis. Metode penelitian ini merupakan studi meta-analisis dengan kajian literatur pada 11 jurnal internasional. Penelitian ini melibatkan 507 partisipan dari seluruh penelitian yang telah dilakukan. Intervensi yang diberikan pada partisipan merupakan DBT, namun ada pula yang hanya menggunakan DBT-skill training program. Peneliti menggunakan The Cochrane Collaboration’s tool for assessing risk of bias in randomised trials untuk menilai resiko bias penelitian. Berdasarkan hasil pengolahan data mean, standard deviation, dan jumlah sampel dari kelompok kontrol maupun kelompok intervensi melalui software Jamovi 2 dan didapatkan nilai effect size hedge’s g yaitu -,983 (95% CI –2,161 – ,259) dansebesar 97.15%. Selain itu, ditunjukkan pula egger’s bias P sebesar ,009 (P < ,05) sehingga terdapat bias publikasi. Hasil analisis data, nilai effect size hedge’s g menunjukkan bahwa DBT memiliki large effect size, maka DBT efektif dalam meningkatkan regulasi emosi pada individu dengan gangguan psikologis. Keterbatasan penelitian ini adalah kurangnya penelitian yang menunjukkan negative findings, sehingga perlu dilakukan penelitian meta-analisis lain yang melibatkan penelitian dengan negative finding.The purpose of this study was to identify the efficacy of Dialectical Behavior Therapy (DBT) to improve emotion regulation for individuals with psychological disorders. The study method was a meta-analysis study with 11 international research articles. This research involved 507 participants from all of the previous studies. DBT intervention was given to the participants yet there were some studies used DBT-skill training programs. Researchers used The Cochrane Collaboration's tool for assessing the risk of bias in randomized trials to evaluate risk of bias. Data analysis of mean, standard deviation, and a total sample of control groups and intervention groups, using Jamovi 2 software and shows effect size hedge’s g values -,983 (95% CI –2,161 – ,259) and heterogeneity value I2 = 97,15%. Also, it showed egger’s bias P-value ,009 (P < ,05), which explained a study bias. Results of the study emphasize that this study had a large effect size in which DBT is effective in improving emotion regulation for individuals with psychological disorders. This meta-analysis study had the lack of negative findings research and thus further meta-analysis research is necessary because it is also found an inconsistent finding. PubDate: 2024-06-17 DOI: 10.15294/intuisi.v15i2.36111 Issue No: Vol. 15, No. 2 (2024)
|