Subjects -> PHILOSOPHY (Total: 762 journals)
| A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z | The end of the list has been reached or no journals were found for your choice. |
|
|
- Sharia and Politics in The Context of Globalization and Society 5.0
Authors: Masykuri Abdillah Abstract: This article aims to describe and analyze globalization and its impact on Islamic politics and Islamic law (sharia) in the modern era. Globalization has brought about a new set of ethics and norms in human relations which in some ways have led to changes in worldviews as well as social, economic, and political systems in the world. Most Muslim scholars accept it, including the influence of Western civilization, with certain adjustments that refer to Islamic teachings and national identity. In most Muslim countries, globalization has affected changes in state systems, such as nation-state, democracy, and protection of human rights. In addition, globalization has affected the status of Islamic law, especially in the form of secularization of national law, although this was later revised with efforts of Islamization of national law. Globalization also has an impact on the need to reinterpret several provisions of Islamic law that are not in line with modern perspectives and challenges, especially provisions related to society 5.0, such as legitimizing digital transactions, peaceful relations between Muslims and non-Muslims, and the understanding of defensive jihad.Keywords: globalization; Islamic politics; Islamic law AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis globalisasi dan dampaknya terhadap politik Islam dan hukum Islam (syariah) di era modern. Globalisasi telah membawa seperangkat etika dan norma baru dalam hubungan manusia yang dalam beberapa hal menyebabkan perubahan pandangan dunia serta sistem sosial, ekonomi, dan politik di dunia. Sebagian besar ulama dan intelektual Muslim menerimanya, termasuk pengaruh peradaban Barat, dengan penyesuaian tertentu yang mengacu pada ajaran Islam dan identitas bangsa. Di sebagian besar negara Muslim, globalisasi telah mempengaruhi perubahan sistem negara, seperti nation-state, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, globalisasi telah mempengaruhi status hukum Islam, terutama dalam bentuk sekularisasi hukum nasional, meskipun kemudian direvisi dengan upaya Islamisasi hukum nasional. Globalisasi juga berdampak pada kebutuhan untuk menafsirkan kembali beberapa ketentuan hukum Islam yang tidak sejalan dengan perspektif dan tantangan modern, terutama ketentuan yang terkait dengan masyarakat 5.0, seperti legitimasi transaksi digital, hubungan damai antara Muslim dan non- Muslim, dan pemahaman tentang jihad defensif.Kata Kunci: globalisasi; politik Islam; hukum Islam PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.28959 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Multi-Track Diplomacy Fiqh of Nahdlatul Ulama in Countering Islamophobia
in Netherlands Authors: Muhammad Taufiq, Muhammad Noor Harisudin, Maimun Maimun Abstract: Islamophobia is a global issue, leading to discrimination, violence, and hatred against Muslims in the Netherlands. In response to this, the Special Branch of Nahdlatul Ulama of the Netherlands (PCINU of the Netherlands) is among the Indonesian diaspora campaigning for the moderation of “Islam Nusantara” through multi-track diplomacy fiqh, a holistic approach emphasizing interdependence in politics, economics, and socio-culture. This paper discusses the multi-track diplomacy fiqh of PCINU of the Netherlands in fighting against Islamophobia in the country. As a non-governmental socio-religious organization, PCINU of Netherlands play a role and strategy in assisting the diplomacy of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia in spreading the “Islam Nusantara” idea to counter Islamophobia. This article is based on empirical research with fiqh al-siyāsah and maqāṣid al-sharī’ah analysis. This study finds that, in countering Islamophobia, PCINU of the Netherlands uses a multi-track diplomacy strategy that successfully spreads friendly, anti-terror, tolerant and moderate Islam. Even though PCINU has not fully employed all Multi-track fields, it has successfully encountered islamophobia and promoted peaceful Islam through Islam Nusantara.Keywords: multi-track Diplomacy Fiqh; Moderation; Islamophobia; Islam Nusantara; world peace AbstrakIslamofobia menjadi isu global yang menimbulkan diskriminasi, kekerasan, dan kebencian terhadap Muslim, termasuk di Belanda. Dalam merespons hal ini, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda (PCINU Belanda) sebagai diaspora Indonesia mengampanyekan moderasi Islam Nusantara melalui fikih diplomasi multitrack. Tulisan ini mendalami strategi fikih diplomasi PCINU Belanda dalam memerangi Islamofobia di Belanda. Sebagai organisasi sosial keagamaan non pemerintah, PCINU Belanda memiliki peran dan strategi dalam membantu diplomasi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dalam menebarkan moderasi “Islam Nusantara” merespons Islamofobia. Studi ini adalah penelitian empiris dengan pendekatan fikih siyasah dan maqāṣid al-sharī’ah. Dalam merespons Islamofobia, PCINU Belanda menggunakan strategi diplomasi multitrack yang berhasil menebarkan Islam yang ramah, anti teror, toleran, dan moderat. Meskipun PCINU belum sepenuhnya menggunakan semua bidang multitrack, namun berhasil menghadapi islamofobia dan mempromosikan Islam yang damai melalui Islam Nusantara.Kata Kunci: multi-track diplomacy; moderasi; islamfobia; Islam Nusantara; perdamaian dunia PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.27963 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Religion and Nationalism in Shaping the Fiqh of Armed Jihad: A Lesson to
the Indonesian National Counterterrorism Policy Authors: Munajat Munajat Abstract: Understanding the formulation of the fiqh of jihad is a key success in countering violent Islamist extremism and terrorism. Two salient factors that often come up in the academic discussion of the making of violent jihad are nationalism and religion. The present study investigates these two crucial related factors in the two prominent cases of armed jihad in Iran (1980-1988) and Palestina (1990-2010); and, then, how they may provide a lesson to the counterterrorism policy in Indonesia. The study uses secondary data to investigate the making of violent jihad of Iran and the Palestinian Hamas. While in the case of Indonesian policy, this article uses a government report on counterterrorism and interviews with the state counterterrorism authorities. This study shows that the interactions of two ideologies (religion and nationalism) together create a sustained and powerful force of a violent jihad by the Iranians during the Iraq-Iran War and Palestinian Hamas against Israel to achieve their political goals. In contrast to this practice, Indonesia has applied nationalism in counterterrorism policies as a strategy to deradicalize violent ideology with religious motives. This article shows that counterterrorism policies need to put more emphasis on the meaning of non-violent jihad.Keywords: religion; nationalism; jihad; counterterrorism AbstrakMemahami fikih jihad merupakan kunci keberhasilan dalam melawan ekstrimisme dan terorisme. Dua faktor yang sering muncul dalam diskusi akademis tentang pembentukkan wacana jihad kekerasan adalah nasionalisme dan agama. Studi ini menyelidiki dua faktor penting dalam kasus jihad bersenjata di Iran (1980-1988) dan Palestina (1990-2010); dan bagaimana kasus ini menjadi pertimbangan dalam kebijakan kontraterorisme di Indonesia. Studi ini menggunakan data sekunder untuk menyelidiki pembentukkan jihad kekerasan di Iran dan Hamas Palestina. Pada konteks Indonesia, penelitian ini menggunakan laporan pemerintah tentang kontraterorisme dan wawancara dengan otoritas terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi dua ideologi (agama dan nasionalisme) secara bersama-sama menciptakan kekuatan jihad kekerasan yang signifikan dan berkelanjutan di Iran selama Perang Irak- Iran dan Hamas Palestina melawan Israel dalam mencapai tujuan politik. Berbeda dengan praktik tersebut, Indonesia menggunakan nasionalisme dalam kebijakan kontraterorisme sebagai strategi melawan ideologi kekerasan bermotif agama. Artikel ini menunjukkan bahwa kebijakan kontraterorisme perlu lebih menekankan pada pemaknaan jihad tanpa kekerasan.Kata Kunci: agama; nasionalisme; jihad; penanggulangan terorisme PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.26130 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Coastal Ulama Ijtihād and Destructive Fishing Prevention in Indonesia
Authors: Thohir Luth, Siti Rohmah, Nur Chanifah, Moh. Anas Kholish, Ranitya Ganindha Abstract: Indonesia has large fisheries and marine resources. However, most of Indonesia's marine ecosystems are still under threat. One of them is the coast of Lamongan. The damage is caused by destructive fishing using destructive gears such as tiger trawls, cantrang (a modified Danish seine), explosives, and others. Government regulations to prevent those activities have not been effective. Therefore, alternative approaches are needed. One approach to be chosen is the Islamic law approach. Because the Lamongan coastal community has a strong Islamic culture, the Islamic view of destructive fishing is expected to offer a better alternative solution. Therefore, this article examines the ecological ijtihād of Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah ulama in Lamongan. This is empirical legal research, with data from focused-group discussions and in-depth interviews. The study finds that the NU Ulama had issued a fatwa through Bahtsul Masail, stating that preserving marine ecology is the obligation of every Muslim and destructive fishing is prohibited. Meanwhile, Muhammadiyah ulama have not issued fatwas institutionally. Nonetheless, the fatwa of the two communities has become a reinforcement for government policies in preventing marine ecosystems damage through eco-fishing.Keywords: destructive fishing; ecological ijtihād; NU; Muhammadiyah AbstrakIndonesia memiliki sumber daya perikanan dan kelautan yang besar. Namun, sebagian besar ekosistem laut Indonesia masih terancam di antaranya di pesisir Lamongan. Kerusakan ini disebabkan oleh penangkapan ikan yang merusak dengan menggunakan alat tangkap yang merusak seperti pukat harimau, cantrang, bahan peledak dan lainya. Pencegahan aktivitas tersebut dengan peraturan pemerintah tidak berjalan efektif. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif yang lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dapat dipilih adalah pendekatan hukum Islam karena masyarakat pesisir Lamongan mempunyai kultur keislaman yang kuat. Artikel ini mengkaji ijtihād ekologis ulama pesisir Lamongan yang berafiliasi NU dan Muhammadiyah. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis-empiris, dengan data didapatkan dari diskusi kelompok dan wawancara mendalam. Penelitian ini menemukan bahwa Ulama NU di Paciran Lamongan telah mengeluarkan fatwa melalui Bahtsul Masail yang menyatakan bahwa menjaga kelestarian ekologi laut adalah kewajiban setiap umat Islam sehingga destructive fishing dilarang. Sementara ulama Muhammadiyah belum mengeluarkan fatwa secara kelembagaan, namun mayoritas secara pribadi menyatakan bahwa kegiatan tersebut juga dilarang. Meskipun demikian, fatwa kedua komunitas tersebut menjadi penguat bagi kebijakan pemerintah dalam mencegah kerusakan ekosistem laut melalui eco-fishing.Kata Kunci: destructive fishing; ijtihād ekologi; NU; Muhammadiya PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.28077 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Siyāsah Shar'iyyah and the Politicization of Religion in the 2019
Indonesian Presidential Election Authors: Zainuddin Zainuddin, Roni Efendi, Jamal Mirdad, Salmy Edawati Yaacob Abstract: The politicization of religion in general elections has been a global issue in both religious and secular countries. Since 1955 to 2019, Indonesia experienced political contests laden with religious attributes, which sparked conflicts. This research aims to analyze the relevant issues and motives associated with using religious elements in the presidential election campaign 2019. This study is empirical research and involves interviews with high-level officials of political parties. Furthermore, the online mass media, official blogs of candidate pairs for president and vice president, and social media were employed as secondary data. Following the analysis, the result implies that the politicization of religion in the 2019 presidential election campaign firmly appears amidst the decline of presidential and vice presidential candidates' religious polarization. The use of religious issues in the campaign yielded public sympathy and antipathy, affecting the electability of presidential and vice presidential candidates. Meanwhile, counter-elements contradict negative images that discredit presidential and vice presidential candidates. The motives for politicizing religion were identified as "political pragmatism" and "culturalism politics". Ideological interest was also identified as a motive but did not arise in the 2019 presidential election. From siyāsah shar'iyyah perspective, the politicization of religion could threaten the sharia objective of creating social advantage (maṣlaḥah). Politicization using religious issues amounts to religious commodification, which is irrelevant to the sharia objective.Keywords: politization of religion; campaign; presidential election; siyāsah shar'iyyah AbstrakPolitisasi agama dalam pemilihan umum telah menjadi isu global di banyak negara, baik negara-negara berbasis agama maupun sekuler. Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum sejak tahun 1955 hingga 2019 dalam prosesnya banyak sekali muncul isu-isu keagamaan yang menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan dan menganalisis isu-isu terbaru dan motif penggunaan isu keagamaan dalam kampanye Pilpres 2019. Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologis empiris. Data diperoleh dari pengurus dan anggota partai politik. Selain itu diperoleh dari media cetak, media elektronik, media online/internet seperti blok resmi pasangan calon presiden-calon wakil presiden dan media sosial. Hasil penelitian menemukan bahwa politisasi agama dalam kampanye Pilpres 2019 semakin menguat di tengah melemahnya polarisasi agama. Isu-isu keagamaan dalam kampanye telah menimbulkan simpati dan antipati publik sehingga mempengaruhi elektabilitas pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Di sisi lain isu-isu yang mengkonter berusaha menormalisasi citra negatif yang dialamatkan pada pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Isu-isu ini muncul untuk kepentingan sesaat sebagai wujud politik pragmatis, di samping politik kultural. Kepentingan ideologis tetap terbaca walaupun tidak mengemuka secara transparan, karena hambatan konstitusional. Dalam pandangan siyāsah shar'iyyah, politisasi agama dapat mengancam tujuan syariat untuk mewujudkan kemashlahatan. Politisasi dengan menggunakan isu-isu keagamaan merupakan komodifikasi agama yang tidak sejalan dengan cita-cita syariat itu sendiri.Kata Kunci: politisasi agama; kampanye; pemilihan presiden; siyāsah shar'iyyah PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.28165 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Qibla Direction Calculation Methods in Islamic Astronomy References in
Indonesia Authors: Reza Akbar, Aslan Aslan, Riza Afrian Mustaqim Abstract: This research shows that most Islamic astronomy references in Islamic Universities in Indonesia still use the spherical earth concept to explain the qibla direction. However, based on modern astronomy, the earth's shape is not a perfect sphere but an ellipsoid. In addition, a contradiction occurs in the conception of magnetic declination in determining the qibla direction. This research aims to examine the relevance of Islamic astronomy reference books with the concept of geoscience based on the magnetic declination formula and concept. This research also examines the calculation methods for qibla direction based on sharia. This library research applies descriptive- analytic and normative approaches with the data originating from various Islamic astronomy references in the digital library of Islamic universities. This research finds that Islamic astronomy references about the qibla direction are not yet relevant to the concept of geoscience. Most of those references still use references astronomy for qibla calculation. There are still some references contradicting the international consensus regarding magnetic declination. In addition, this study reveals that someone who has the ability to determine the qibla direction through the Vincenty formula should use that concept instead of spherical trigonometry. This is because of skill (ahliyyah) and sincerity (juhd) requirements in ijtihad; Shafi'i's notion regarding ikhtilāf in ijtihād for qibla direction; and Islamic jurisprudence principle stating that certainty is not overruled by doubt.Keywords: Islamic astronomy; qibla direction; spherical trigonometry; Vincenty's formula; sharia AbstrakPenelitian ini berangkat dari fakta bahwa sebagian besar referensi ilmu falak di perguruan tinggi Indonesia masih menggunakan konsep bumi bulat dalam menjelaskan pokok bahasan arah kiblat. Padahal, berdasarkan astronomi modern, bentuk bumi tidaklah seperti bola sempurna, melainkan berbentuk elipsoid. Selain itu, terdapat pula pertentangan konsepsi deklinasi magnetik dalam persoalan penentuan arah kiblat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji relevansi referensi ilmu falak terhadap konsep sains kebumian berdasarkan ketepatan penggunaan formula dan konsep deklinasi magnetik, serta juga menelaah penggunaan formula perhitungan arah kiblat berdasarkan kajian syariah. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaaan menggunakan pendekatan deskriptif analitik dan normatif sumber data dari berbagai referensi ilmu falak yang ada di perpustakaan digital perguruan tinggi keagamaan Islam. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa referensi ilmu falak pada pokok bahasan arah kiblat belum relevan dengan konsep sains kebumian. Hal ini disebabkan sebagian besar referensi tersebut masih menggunakan perhitungan referensi astronomi untuk memecahkan persoalan arah kiblat. Beberapa referensi ilmu falak juga tidak mengikuti konsensus internasional mengenai konsep deklinasi magnetik. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan bahwa seseorang yang mampu menentukan arah kiblat melalui perhitungan formula Vincenty sebaiknya menggunakannya dan meninggalkan perhitungan trigonometri bola. Hal ini disebabkan beberapa pertimbangan, yaitu pelaksanaan ijtihād yang mewajibkan kecakapan (ahliyyah) dan kesungguhan (juhd), pandangan Shafi’i mengenai penyelesaian ikhtilāf dalam ijtihād penentuan arah kiblat, dan kaidah ushūl al-fiqh yang menyebutkan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan (shakk).Kata Kunci: ilmu falak; arah kiblat; trigonometri bola; formula Vincenty; syariah PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.20422 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- The Protection of Women and Children Post-Divorce in Sharia Courts in
Aceh: A Sociological Perspective Authors: Fajri M Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, Munawwarah Samad Abstract: This study discusses the protection of women and children after divorce at the Syar'iyah Court in Aceh. A legal sociology approach is used to draw the decisions of the Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, and Lhokseumawe Syar'iyyah Courts. The interviews were conducted with judges, community leaders, village heads, heads of the Office of Religious Affairs (KUA), academics, traditional figures, and non-governmental organizations (NGO) activists. This study concludes that the Syar'iyah Court in Aceh, in its decision, has ensured the rights of women and children. The Syar'iyah Court in Aceh determined the provision of 'iddah, muṭ'ah maintenance, joint assets, and childcare rights to women. Children get living expenses, guardianship from the family, and care from the mother. Sociologically, the law has functioned as a means of social control through the Syar'iyah Court and judges as the main part of the legal structure supported by other elements of society so that the protection of women and children can be realized fairly.Keywords: protection of women and children; divorce; legal sociology; sharia court AbstrakKajian ini membahas perlindungan perempuan dan anak setelah perceraian pada Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Dengan pendekatan sosiologi hukum, studi ini bersumber pada putusan-putusan Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, and Lhokseumawe dan wawancara kepada hakim, tokoh masyarakat, kepala desa, kepala Kantor Urusan Agama (KUA), akademisi, tokoh adat dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kajian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Syar’iyah di Aceh dalam putusannya telah memastikan hak-hak perempuan dan anak. Mahkamah Syar’iyah di Aceh menetapkan pemberian nafkah ‘iddah, nafkah muṭ‘ah, harta bersama dan hak pengasuhan anak kepada perempuan; dan anak mendapatkan biaya hidup, perwalian dari keluarga dan pengasuhan dari ibu. Secara sosiologis, hukum telah berfungsi sebagai alat kontrol sosial melalui Mahkamah Syar’iyah dan hakim sebagai bagian utama dari struktur hukum yang didukung oleh elemen masyarakat lainnya sehingga perlindungan terhadap perempuan dan anak dapat terwujud secara adil.Kata Kunci: perlindungan perempuan dan anak; perceraian; sosiologi hukum; Mahkamah Syar’iyah
PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.28747 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Marriage Dispensation and Family Resilience: A Case Study of the Bener
Meriah Shariah Court, Aceh Province Authors: Darmawan Darmawan, Asmaul Husna, Mirza Rahmatillah, Helmi Imran Abstract: The regulation on marriage dispensation has encouraged the increase in early marriage in various regions in Indonesia, including in Bener Meriah, Aceh. Early marriage has a negative impact on family resilience as it raises problems leading to divorce. This is a normative legal study with a case study approach. Data collection was carried out employing a document study, namely Sharia Court Decisions and related literature. This study concludes a significant relationship between marriage dispensation, high underage marriages, and weak family resilience. In granting marriage dispensation, the Sharia Court judges consider legal and extra-legal grounds. The dispensation stipulation has met the legal requirement, although the legal reasonings are unconvincing. Furthermore, early marriage has an impact on increasing divorce rates due to issues such as psychological problems and reproductive readiness, as well as adverse effects caused by divorce. Therefore, concrete and strategic steps are needed with the involvement of various groups, including the government, ulama, and traditional leaders, who are able to promote family resilience in society.Keywords: marriage dispensation; underage marriage; family resilience; sharia court AbstrakKebijakan dispensasi nikah telah mendorong peningkatan pernikahan dini di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Bener Meriah, Aceh. Pernikahan dini berdampak negatif terhadap ketahanan keluarga karena menimbulkan masalah yang berujung pada perceraian. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yaitu Putusan Mahkamah Syar’iyah dan literatur terkait. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dispensasi perkawinan, tingginya angka perkawinan di bawah umur dan lemahnya ketahanan keluarga. Dalam pemberian dispensasi nikah, hakim Mahkamah Syar’iyah mempertimbangkan alasan hukum dan alasan di luar hukum. Ketentuan dispensasi tersebut telah memenuhi syarat hukum, meskipun pertimbangan hukumnya tampak memaksakan. Lebih lanjut, pernikahan dini berdampak pada meningkatnya angka perceraian karena masalah-masalah seperti masalah psikologis dan kesiapan reproduksi, serta dampak buruk akibat perceraian. Oleh karena itu, diperlukan langkah- langkah konkrit dan strategis dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, ulama, dan tokoh adat, yang mampu mendorong ketahanan keluarga dalam masyarakat.Kata Kunci: dispensasi pernikahan; pernikahan dini; ketahanan keluarga; Mahkamah Syar’iyah
PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.28827 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Sharia and Local Wisdom in Indonesia: A Criticism of jāhiliyyah Law
Misinterpretation Authors: Moh Zahid Abstract: There are some opinions that laws not derived from the Qur'an and hadith are jahiliyyah laws. In order to create a national law with Indonesian characters, it is necessary to accommodate the local wisdom, traditions and customs of the people. This research explores the views of Muslim scholars about the meaning of jāhiliyyah law to formulate national law with Indonesian characters. The study used a phenomenological approach showing that there are differences in viewing the notion of jahiliyyah law. Some believe that the law originating from customs and culture is jahiliyyah law, while the others argue against it. The latter considers the principle of al-‘ādah muḥakkamah, al-‘urf and maqāṣid al-sharī'ah. The accommodation of local wisdom and Islamic law in the formation of national law is to ensure the plurality of national legal sources.Keywords: jāhiliyyah law; Islamic law; custom; local wisdom AbstrakAda pendapat yang berkembang bahwa hukum yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan hadis adalah hukum jahiliah. Untuk menciptakan hukum nasional yang berkarakter Indonesia, perlu akomodasi kearifan lokal, tradisi, dan adat istiadat. Penelitian ini menggali pandangan para cendekiawan Muslim dan ulama tentang makna hukum jahiliah dalam merumuskan hukum nasional yang berkarakter keindonesiaan. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat dalam memaknai hukum jahiliah. Sebagian berpendapat bahwa hukum yang bersumber dari adat dan budaya adalah hukum jahiliah, namun sebagian lainnya menentang pendapat tersebut. Pendapat terakhir mempertimbangkan prinsip al-‘ādah muḥakkamah, al-‘urf dan maqashid al-shari'ah. Dengan demikian, akomodasi kearifan lokal dan hukum Islam dalam perumusan hukum nasional diperlukan untuk menjamin pluralitas sumber hukum nasional.Kata Kunci: hukum jahiliyyah; hukum Islam; adat; kearifan lokal PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.25100 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
- Bay‘ Mumtalakāt al-Waqf: Dirāsah Taḥliliyyah fī Ḍau’
Tashrī‘āt al-Waqf fī Hukumah Māliziyā Authors: Muhamad Firdaus Ab Rahman, Hussein ‘Azeemi Abdullah Thaidi, Mohammad Naqib Hamdan, Siti Farahiyah Ab Rahim Abstract: This article aims to critically examine the issue of selling waqf properties in Malaysia's waqf legislations. This tudy adopts a qualitative methodology employing field work data. The findings indicate that even though the waqf fiqh provides a choice of periods to be either temporary or permanent waqf, the Malaysian Waqf laws adopt permanent waqf and prohibits the temporary waqf for the sake of public interest (maslahah). Therefore, waqf properties cannot be cancelled by a donor, and that waqf land cannot be sold, given as a present, or bequeathed. The finding established that the Waqf laws are consistent with the waqf's aims. Thus, this paper proposes that each State's Waqf Corporation and Islamic Religious Council in Malaysia needs to conduct a review of the existing waqf rulings and legal framework to ensure that they are consistent with the waqf purpose for benefiting donors, waqf holdings, and beneficiaries.Keywords: sell; Waqf; Property; legislation; Malaysia ملخ: تهدف هذه الورقة إلى دراسة المواد القانونية الشرعية المتعلقة ببيع ممتلكات الوقف في دولة ماليزيا. وتعتمد هذه الدراسة على المنهج النوعي مع استخدام المناهج الاستقرائية والوصفية والمقارنة والميدانية في تحليل البيانات. ومن أهم نتائج هذه الورقة أن تشريعات الوقف لدولة ماليزيا لا تجيز الوقف المؤقت وانتهاء الوقف ورجوعه وبيعه، وهذا دليل على أن تشريعات الوقف في دولة ماليزيا تتفق مع مقاصد الوقف أنه لا يباع أصلها ولا يوهب ولا يورث، ويكون الوقف مستمرا غير مقطوع. وتقترح هذه الورقة تشجيع هيئات الأوقاف لكل ولاية في ماليزيا على تقويم المواد القانونية المنصوصة في قانون الوقف الحالي حتى تتفق مع مقاصد الوقف لمصلحة الواقفين والموقوف عليهم والأموال الموقوفة. .يازيلام؛ فقو ؛نوناق ؛تاكلتمم ؛عيب :ةيحاتفلما تاملكلا PubDate: 2022-12-31 DOI: 10.15408/ajis.v22i2.22568 Issue No: Vol. 22, No. 2 (2022)
|