Authors:Lego Karjoko, Abdul Kadir Jaelani, Hilaire Tegnan, Henning Glaser, Muhammad Jihadul Hayat Abstract: This study examines the legal considerations in settling inheritance disputes involving land distribution in Selong Religious (Islamic) Court of West Nusa Tenggara. The data in this study were obtained from interviews and court decision analysis. This study shows that the practice of granting property before the death of the muwārith (testator) can cause inheritance-based land disputes in the future. Disputes usually arose when the land was distributed only to particular heirs, neglecting the others, especially the daughters and their descendants. In deciding the land disputes in inheritance cases, judges evermore considered the legal validity of the land distribution. Besides that, the judges use Islamic legal sources such as the Quran, Hadith, opinions of scholars, and fiqh in their legal considerations. However, the use of these multiple references does not necessarily lead to a diverse outcomes. Abstrak: Penelitian ini mengkaji bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara sengketa hibah tanah di Pengadilan Agama Selong, Nusa Tenggara Barat. Data pada penelitian ini diperoleh dari wawancara dan analisis putusan. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan masyarakat menghibahkan harta sebelum kematian pewaris cenderung menjadi pemicu sengketa tanah berbasis waris di kemudian hari. Sengketa biasanya muncul dari pembagian tanah yang hanya kepada sebagian ahli waris dan merugikan sebagian ahli waris yang lain, terutama bagi anak perempuan dan keturunannya. Dalam memutus sengketa hibah tanah dalam kewarisan, hakim selalu mempertimbangkan keabsahan hukum hibah tanah dalam kasus yang diajukan. Selain itu, hakim juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis, pendapat ulama, dan kaidah fikih sebagai pertimbangan hukumnya. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.21864 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Hendun Abd Rahman Shah Abstract: The paper aims to provide an overview of modern slavery and forced labour under international, Malaysian and Islamic law perspectives. It employs doctrinal methods which mainly focus on library-based research through legal analysis and review of past works, as well as the historical and explanatory method that help explain the views of commentators and scholars in international and Islamic law. It then connects ideas to understand the issue in the local context. This paper concludes that there is a lack of a clear definition of modern slavery universally, which makes it difficult to identify whether the exploitation of the workers, is amounting to merely a violation of rights or to some extent is amounting to slavery or forced labour or trafficking of persons as demarcated by either International law or the Malaysian law. Nevertheless, Islamic law has not given much emphasis on definition, rather it provides remedy and guidelines in protecting workers from oppression and slavery such as regulating the relationship between the employer and the worker according to the precise legal criteria to guarantee fulfilment of rights and non-aggression so that labour does not turn into a new arena of modern slavery. Abstrak: Paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perbudakan modern dan kerja paksa di bawah perspektif hukum internasional, hukum Malaysia dan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal melalui analisis hukum dan tinjauan karya-karya masa lalu, serta metode sejarah yang membantu menjelaskan pandangan para komentator dan sarjana dalam hukum internasional dan hukum Islam yang dihubungkan dengan ide-ide untuk memahami masalah dalam konteks lokal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada kekurangan definisi yang jelas tentang perbudakan modern secara universal, yang membuat sulit untuk mengidentifikasi apakah eksploitasi pekerja, hanya merupakan pelanggaran hak atau sampai batas tertentu merupakan perbudakan atau kerja paksa atau perdagangan orang sebagaimana diatur oleh hukum Internasional atau hukum Malaysia. Namun demikian, hukum Islam belum banyak memberikan penekanan pada definisi, melainkan memberikan perbaikan dan pedoman dalam melindungi pekerja dari penindasan dan perbudakan, seperti mengatur hubungan antara majikan dan pekerja sesuai dengan kriteria hukum yang tepat untuk menjamin pemenuhan hak sehingga tenaga kerja tidak berubah selalu menjadi arena perbudakan modern. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22543 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Adelina Nasution, Ismail Fahmi Arrauf Nasution Abstract: This paper discusses ḥaḍānah practice in Muslim communities based on a case study in Aceh, Indonesia. This paper focuses on society's arguments in choosing a conflict resolution mechanism in post-divorce child custody. This study is based on in-depth interviews with families experienced in using litigation and non-litigation approaches in custody cases. The authors explore Acehnese people's foundational arguments in choosing the non-litigation solution based on economic, customary, legal understanding and awareness, distance and time consideration. The result shows that their choice is a part of the negotiation process of the national law, Islamic law, and local context of Aceh. However, this study finds out that, children still suffer from loss of reciprocal relationship from their parents although the ḥaḍānah cases well resolved. Abstrak: Tulisan ini membahas praktik hadanah pada masyarakat Muslim berdasarkan studi kasus di Aceh, Indonesia. Tulisan berfokus pada argumentasi pemilihan mekanisme resolusi konflik pengasuhan anak yang terjadi akibat perceraian sepasang suami-istri. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap keluarga yang sedang atau pernah menjalani proses penyelesaian konflik hadanah secara litigasi atau non-litigasi. Penulis mengeksplorasi argumentasi masyarakat Aceh dalam memilih penyelesaian konflik hadanah secara non-litigasi baik dari aspek ekonomi, adat, pemahaman dan kesadaran hukum, serta aspek jarak dan waktu. Tulisan ini menemukan bahwa pilihan mekanisme penyelesaian konflik hadanah dalam masyarakat Aceh merupakan bagian dari proses negosiasi antara hukum nasional, hukum Islam dan konteks lokalita Aceh. Tulisan ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa meskipun suatu mekanisme penyelesaian konflik hadanah yang dipilih dilandasi pada mekanisme yang dianggap terbaik, anak tetap menjadi pihak yang dirugikan akibat konflik perdata diantara kedua orang tua mereka. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22094 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Afwan Faizin, Ali Mansur, Akhmad Mughzi Abdillah Abstract: The article aims to describe the influence of the political strengthening of the Turkish Islamist party, AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi, Justice and Development Party) on human rights legislation in Turkey's national legislation. The research was conducted in Turkey in 2019 with a qualitative approach. Data collection techniques are in-depth interviews, literature studies, and focused groups discussion. The findings of the study conclude that although Islamic norms do not formally influence Turkey's human rights legislation, the strengthening of Islamist parties in Turkey “influences” the human rights legislation process in Turkey. An example is the failure of a bill to protect LGBT people proposed by the secular-Kemalist party, CHP (Cumhuriyet Halk Partisi, Republican People's Party) caused by the majority of seats in the Turkish parliament controlled by the AKP. As a result, Turkey's membership in the European Union (EU) has not been accepted because several EU human rights protocols have not been ratified in Turkey's human rights legislation. The study shows that the view of AKP on human rights is not compatible with the universal human rights. Abstrak: Artikel ini menjelaskan pengaruh menguatnya politik partai Islamis Turki AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi, Justice and Development Party) terhadap legislasi HAM pada perundang-undangan nasional Turki. Penelitian ini dilakukan di Turki pada 2019 dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam, studi literatur, dan Focussed Groups Discussion (FGD). Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa meski legislasi HAM Turki secara formal tidak dipengaruhi oleh norma-norma Islam, tapi menguatnya partai Islamis di Turki “berpengaruh” terhadap proses legislasi HAM di Turki. Sebagai contoh adalah kandasnya rancangan undang-undang yang bertujuan melindungi kelompok LGBT yang diusulkan oleh partai sekular-Kemalis, CHP (Cumhuriyet Halk Partisi, Republican People’s Party). Rancangan itu ditolak oleh mayoritas kursi parlemen Turki yang dikuasai oleh AKP. Akibatnya, hingga saat ini, keanggotaan Turki di Uni Eropa belum diterima karena beberapa protokol HAM Uni Eropa belum diratifikasi dalam legislasi HAM Turki. Studi ini menunjukkan bahwa penafsiran AKP tentang HAM tidak sesuai dengan gagasan universal HAM. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.20136 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Khairuddin Hasballah, Ridwan Nurdin, Muslim Zainuddin, Mutiara Fahmi Abstract: This research analyzes the issue of the practice of inheritance of patah titi and substitute heirs in Acehnese society according to the Compilation of Islamic Law (KHI), Islamic jurisprudence (fiqh) and local custom (adat). This empirical legal research uses a legal pluralism approach. Legal pluralism is a theory that analyzes the diversity of laws applicable and applied in the lives of society and the state. Data collection techniques include in-depth interviews and literature review. The findings reveal that the people of Aceh practice a religious legal system, which consists of the KHI, fiqh, and adat in the distribution of inheritance. In the customary law, the practice known as “patah titi” concerns the case of inheritance in which an heir predeceases the testator, thus preventing the heirs’ living descendants from receiving inheritance rights. The customary practice in regards to patah titi bears a similarity to fiqh, in which it does not recognize a substitute heir, as fiqh only recognizes the replacement of the heir’s position. According to ulamas and traditional leaders, the practice of patah titi causes a divergent of opinions in which some agree whereas others do not. Those who disagree are more likely to use the term “will”, meaning that even though grandchildren do not inherit, sometimes they get property by way of a will. Furthermore, substitute heirs as confirmed in the KHI, although unavailable in fiqh and adat literature, are still recognized as they are in accordance with maqāṣid sharīah (the objectives of Islamic law), i.e. for justice and benefit purposes. To conclude, such a practice is a consequence of legal pluralism, which prioritizes harmonization and integration between the three legal systems. Abstrak: Penelitian ini menganalisis persoalan praktik pewarisan patah titi dan ahli waris pengganti dalam masyarakat Aceh menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), fikih, dan adat setempat. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan pluralisme hukum. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam dan studi pustaka. Temuan mengungkapkan bahwa masyarakat Aceh menganut sistem hukum agama, yang terdiri dari KHI, fikih, dan adat dalam pembagian warisan. Dalam hukum adat, praktik yang dikenal sebagai patah titi menyangkut kasus pewarisan di mana seorang ahli waris mendahului pewaris sehingga mencegah keturunan ahli waris yang masih hidup untuk menerima hak warisan. Kebiasaan patah titi memiliki kesamaan dengan fikih, yaitu tidak mengenal ahli waris pengganti, karena fikih hanya mengenal pengganti kedudukan ahli waris. Para ulama dan tokoh adat berpendapat bahwa praktik ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang ada yang setuju dan ada yang tidak. Mereka yang tidak setuju lebih cenderung menggunakan istilah “wasiat”, artinya meskipun cucu tidak mewarisi, terkadang mereka mendapatkan harta dengan cara wasiat. Selanjutnya ahli waris pengganti yang ditegaskan dalam KHI, meskipun tidak ada dalam fikih dan literatur adat, tetap diakui sesuai dengan maqashid syariah (tujuan hukum Islam), yaitu untuk tujuan keadilan dan kemaslahatan. Kesimpulannya, praktik semacam itu merupakan konsekuensi dari pluralisme hukum yang mengutamakan harmonisasi dan integrasi antara ketiga sistem hukum tersebut. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22792 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Musyaffa Amin Ash-Shabah, Nahrowi Nahrowi, Masyrofah Masyrofah Abstract: This study examines the legal considerations in settling inheritance disputes involving land distribution in Selong Religious (Islamic) Court of East Nusa Tenggara. The data in this study were obtained from interviews and court decision analysis. This study shows that the practice of granting property before the death of the muwārith (testator) can cause inheritance-based land disputes in the future. Disputes usually arose when the land was distributed only to particular heirs, neglecting the others, especially the daughters and their descendants. In deciding the land disputes in inheritance cases, judges evermore considered the legal validity of the land distribution. Besides that, the judges use Islamic legal sources such as the Quran, Hadith, opinions of scholars, and fiqh in their legal considerations. However, the use of these multiple references does not necessarily lead to a diverse outcomes. Abstrak: Penelitian ini membahas praktik pemberian mahar dalam perkawinan masyarakat Aceh, Indonesia dan Selangor, Malaysia. Studi ini mengkaji ketentuan kadar mahar dalam perundang-undangan Indonesia dan Malaysia serta penerapannya di tengah masyarakat. Sumber data dalam penelitian hukum empiris ini adalah wawancara dan studi dokumen. Data-data tersebut kemudian diolah menggunakan teori realisme hukum dan teori ‘urf. Temuan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa ketentuan kadar mahar dalam perundang-undangan Indonesia berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Namun, dalam praktiknya aturan adat Aceh menjadi pilihan masyarakat dalam menentukan dan menetapkan kadar mahar. Penetapan kadar mahar di Aceh ditentukan oleh pihak keluarga perempuan yaitu mahar mitsl, yang diberikan dalam bentuk emas dengan sebutan mayam. Berbeda dengan kadar mahar Negeri Selangor yang ditentukan oleh Pemerintah Kerajaan Negeri dengan kadar minimum RM 300.00 yang merupakan kesatuan antara mahar dan hantaran untuk gadis maupun janda. Kenyataannya di masyarakat terdapat beberapa orang Selangor yang masih menetapkan sendiri nilai hantaran yang harus diserahkan kepada pihak perempuan. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.19673 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Ali Sodiqin Abstract: Islamic law is special and unique since it is from revelation. In restorative justice systems, Islam integrates legal, moral, and spiritual aspects in its enforcement. The integration of these three aspects is clear in the philosophy of law, legal construction, and the determination of legal actions and sanctions. The purpose of this study is to examine the integration of these three aspects in forming a restorative justice model through the classification of authority (ḥuqūq) in Islamic law. According to the law, the classification of God and human rights and the mixture of these two determines different models of restorative justice enforcement. In general, the law rules in God’s authority (ḥuqūq Allāh) and produces the enforcement of offender centered models of restorative justice through repentance (tawbat) and redemption (kaffārāt). Furthermore, it also rules under human authority (ḥuqūq al-’abd) and in a mixture of the two rights, producing a victim-centered model of restorative justice through compensation (diyah) and forgiveness. The two restorative justice models balance protection, access, and obligations in the inforcement of legal and social justice. Abstrak: Hukum Islam memiliki karakter khusus yang membedakannya dengan sistem hukum yang lain. Dalam restorative justice system, Islam mengintegrasikan aspek legal, moral, dan spiritual dalam penegakkannya. Integrasi ketiga aspek tersebut terlihat dalam filosofi hukum, konstruksi hukum, penetapan tindakan dan sanksi hukum. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana integrasi ketiga aspek tersebut membentuk model keadilan restoratif, melalui pengklasifikasian otoritas (ḥuqūq) dalam hukum Islam. Dalam penetapan hukum, klasifikasi hak Tuhan, hak manusia, dan campuran antara hak Tuhan dan hak manusia menentukan perbedaan model penegakkan keadilan restoratif. Aturan hukum yang berada dalam otoritas Tuhan (ḥuqūq Allāh) menghasilkan model penegakan keadilan restoratif yang berpusat pada pelaku tindak pidana, melalui hukuman yang berupa taubat dan kaffārāt. Aturan hukum yang berada dalam otoritas manusia (ḥuqūq al-’abd) dan campuran otoritas Tuhan dengan otoritas manusia menghasilkan model keadilan restoratif yang berpusat pada korban, yaitu melalui penerapan hukum kompensasi (diyat) dan pemaafan terhadap pelaku. Kedua model keadilan restoratif ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan perlindungan, akses, dan kewajiban dalam penegakan keadilan hukum dan keadilan sosial. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22675 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Ahmad Mukri Aji, Mara Sutan Rambe, Nur Rohim Yunus, Rulia Feriera Abstract: Same-clan marriage is prohibited among the Mandailing Batak society. The practice is considered to harm partuturon (designation within the family relationship). However, people have started to violate this prohibition. Sanctions for the violators have no longer been imposed. This indicates the weakening of the customary law in society. This is a legal anthropological inquiry involving observations and interviews with the customary leaders of the Mandailing Batak Society and those who practice the same-clan marriage. This research finds that factors influencing the changes in the same-clan marriage include Islamic teachings, modernity, improvement in education, and people's mobility. Abstrak: Perkawinan sesama marga dilarang di kalangan masyarakat Batak Mandailing. Praktik tersebut dianggap merugikan partuturon (sebutan dalam hubungan keluarga). Namun, larangan tersebut sudah mulai dilanggar oleh masyarakat. Sanksi bagi pelanggar sudah tidak berlaku lagi. Hal ini menunjukkan melemahnya hukum adat dalam masyarakat. Penelitian antropologi hukum ini menggunakan observasi dan interview kepada para pemimpin adat Masyarakat Batak Mandailing dan mereka yang melakukan perkawinan sesama marga. Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor seperti modernitas, peningkatan pendidikan, mobilitas, dan ajaran Islam mempengaruhi perubahan perkawinan sesama marga. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.23729 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:JM Muslimin, Mahmoud Mohamed Hosny Mohamed, Wildan Munawar Abstract: This article discusses how Indonesia and Egypt dealt with Covid-19 from the Islamic law perspective. It focuses on fatwas regarding the establishment of religious rites in the Covid-19 periode. The study compares the two experiences in terms of the Islamic jurisprudential methodology and the fatwa issuance procedural systems. It analyzes the Islamic legal comparison between the Indonesian and Egyptian experiences in dealing with the Covid-19. This study found that the fatwa regarding Covid-19 in Egypt is responsive to the virus's rapid transmission. Therefore, Muslims have guidelines in performing worship during the Covid-19 period. The sharia arguments used in formulating the fatwa for the implementation of worship during the Covid-19 period are qiyas, maṣlaḥat, sad al-dharā'i and the opinions of the jurists. This methodological argument is used in principle to avoid the danger of spreading Covid-19. Abstrak: Artikel ini membahas bagaimana Indonesia dan Mesir menghadapi Covid-19 dari perspektif hukum Islam. Fokus penelitian ini pada fatwa pelaksanaan ibadah pada masa Covid-19. Studi ini membandingkan dua segi metode yakni fikih Islam dan sistem prosedural penerbitan fatwa. Prosedur penelitian ini menganalisis perbandingan hukum Islam antara pelaksanaan ibadah di Indonesia dan Mesir pada masa pandemi. Studi ini menemukan bahwa fatwa tentang Covid-19 di Mesir tidak responsif sehingga penularan virus yang cepat, sedangkan fatwa umat Islam di Indonesia dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan ibadah selama masa Covid-19. Dalil-dalil syariah yang digunakan untuk merumuskan fatwa pelaksanaan ibadah selama masa Covid-19 adalah qiyās, maṣlaḥat, sad al-dharā'i dan pendapat para fukaha. Adapun argumen metodologis ini pada prinsipnya digunakan untuk menghindari bahaya penyebaran Covid-19. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.21927 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)
Authors:Yayan Sopyan, Syamsudin Syamsudin Abstract: This study compares the Judicial Code of Conduct formulated by the Supreme Court of Indonesia and the classical Islamic jurisprudence using the case of the book of Adab al-Qāḍī by Al-Māwardī. The study uses a comparative legal approach to see how these two concepts discuss the integrity of judges. This study found that the Judicial Code of Conduct in Indonesia comes from Islamic law, which Al-Māwardī also uses. The Judicial Code of Conduct concept in Indonesia is in line with the theory of moral idealism, which views humans as moral beings who serve as guidelines for human attitudes and behavior. This is in line with the idea of the unity of the relationship between law and morality. Not all Code of Judicial Ethics in the book "Adab al-Qāḍī " is relevant in Indonesia. However, it cannot be ignored the importance of this book as one of the references in preparing the Judicial Code of Conduct in Indonesia. Abstrak: Penelitian ini membandingkan Kode Etik Peradilan yang dirumuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia dan yurisprudensi Islam klasik yang berdasar kitab Adabu al-Qāḍī karya Al-Māwardī. Kajian ini menggunakan pendekatan hukum komparatif untuk melihat bagaimana kedua konsep tersebut membahas integritas hakim. Kajian ini menemukan bahwa Kode Etik Peradilan di Indonesia bersumber dari hukum Islam, yang juga digunakan oleh Al-Māwardī. Konsep Kode Etik Peradilan di Indonesia sejalan dengan teori idealisme moral yang memandang manusia sebagai makhluk bermoral yang menjadi pedoman sikap dan perilaku manusia. Hal ini sejalan dengan gagasan kesatuan hubungan antara hukum dan moralitas. Adapun Kode Etik Peradilan yang terdapat dalam Adab al-Qāḍī tidak semuanya relevan untuk diterapkan di Indonesia. Namun demikian, buku ini tetap penting untuk dijadikan salah satu acuan dalam penyusunan Kode Etik Peradilan di Indonesia. PubDate: 2021-12-30 DOI: 10.15408/ajis.v21i2.19671 Issue No:Vol. 21, No. 2 (2021)