Authors:Antoni Putra First page: 108 Abstract: Efforts to revise Law Number 30 of 2002 concerning the Commission of Corruption Eradication which became the basis for the formation of the Corruption Eradication Commission have been carried out repeatedly, and the peak occurred in 2019. In the revision carried out in 2019, there was a neglect of the principle of establishing good laws and regulations, causing rejection from the public during the discussion process in the House of Representatives, and this makes it difficult for the revised law to be accepted, causing a lot of judicial review at the Constitutional Court.Keywords: Corruption Eradication Commission; Law; Rejection; AbstrakUpaya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi telah dilakukan berulangkali, dan puncaknya terjadi pada 2019. Dalam revisi yang dilaukan pada 2019 tersebut, terjadi pengabaian terhadap prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga menyebabkan terjadi penolakan dari publik saat proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat dan menyebabkan undang-undang hasil revisi juga sulit diterima sehingga menyebabkan banyak terjadi pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.Kata Kunci: Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang, Penolakan; PubDate: 2021-10-22 DOI: 10.33369/jsh.30.2.%p Issue No:Vol. 30, No. 2 (2021)
Authors:Stellen Rosalina S First page: 128 Abstract: This research aims to discuss the role and strategy of the Financial System Stability Committee in preventing and dealing with the financial system crisis in Indonesia, also its comparison with committees in South Korea and the United Kingdom. This research is normative juridical and uses a historical approach, comparative approach and statutory approach. This research indicates that in the problem of systemic bank solvency, KSSK has three ways, namely purchase and assumption, bridge banks, and capital addition by LPS. Based on PPKSK Law, rescuing failed banks during the crisis is now using a bail-in mechanism. Reflected on the South Korea case, this country has succeeded in responding to the crisis with proper action and strategy. Also, they cooperated with foreign authorities to minimize current situations that could trigger a crisis in both jurisdictions. Meanwhile, The United Kingdom has built a strong and layered institutional architecture to sustain and maximize its function.Keywords: Financial System Stability Committee; Preparedness and Management Strategy; Financial System Crisis. Abstrak Penelitian ini akan membahas bagaimana peranan dan strategi Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan di Indonesia, serta perbandingannya dengan komite di Korea Selatan dan Inggris. Penelitian ini bersifat yuridis normatif serta menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan solvabilitas bank sistemik, KSSK dapat melakukan tiga cara, yaitu purchase and assumption, bridge bank dan penambahan modal oleh LPS. Berdasarkan UU PPKSK, kini penyelamatan bank gagal saat krisis menggunakan mekanisme bail in. Berkaca dari Korea Selatan, negara ini berhasil merespon krisis melalui tindakan dan strategi yang tepat, serta menjalin kerjasama dengan otoritas asing di negara lain guna meminimalisir situasi yang dapat memicu krisis di kedua yurisdiksi. Begitu juga dengan Inggris yang membangun arsitektur kelembagaan yang kokoh dan berlapis guna menopang dan memaksimalkan fungsi masing-masing lembaga yang bersangkutan.Kata Kunci: Komite Stabilitas Sistem Keuangan; Strategi Pencegahan dan Penanganan; Krisis Sistem Keuangan PubDate: 2021-09-18 DOI: 10.33369/jsh.30.2.%p Issue No:Vol. 30, No. 2 (2021)
Authors:Bearly Deo Syahputra, Enggal Prabawuri Khotimah Pages: 147 - 165 Abstract: The dispute resolution process in court is not always the conventional way that the parties come directly to the court, but can be done online. This was marked by the launch of the e-court on July 13 2018. With the launch of the e-court, the Supreme Court for electronics will fundamentally change the practice of court litigation. Since the issuance of the Supreme Court Regulation Number 1 of 2019 concerning administrative cases and circuit court hearings on August 19 2019, the Supreme Court Regulation Number 3 2018, the case of the Board of Directors has been declared null and void. PERMA No.1 2019 completes PERMA 3 year No. 2018 so that not only the event record can be done online or known as the name of the e-court test but also can be done electronically, for example e-ligitation. For this reason, the author tries to elaborate on the validity of the evidence in e-litigation. PubDate: 2021-10-12 DOI: 10.33369/jsh.30.2.147-165 Issue No:Vol. 30, No. 2 (2021)
Authors:Dewi Cahyandari, Jeremya Chandra Pages: 166 - 179 Abstract: Jaminan sosial merupakan sebuah bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 22 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. BPJS dibentuk untuk dapat memfasilitasi jaminan sosial untuk masyarakat. Namun, kerugian yang dialami oleh BPJS membuat pemerintah secara terus menerus menyuntikan modal kepada BPJS. Beberapa waktu lalu, pemerintah sempat menaikkan iuran BPJS yang banyak memancing gelombang protes dari masyarakat karena kenaikan iuran tersebut diperkirakan di lakukan untuk menutup kerugianyang di alami oleh BPJS. Oleh karenanya dalam tulisan ini penulis mengambil rumusan masalah apakah kerugian yang dialami oleh BPJS masuk dalam kategori kerugian negara' Dan apakah negara harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami oleh Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Jika melihat unsur-unsur dari kerugian negara maka kerugian yang di alami BPJS bukanlah kerugian negara, namun pada kenyataanya negara masih saja menyuntikkan modal kepada BPJS. PubDate: 2021-10-15 DOI: 10.33369/jsh.30.2.166-179 Issue No:Vol. 30, No. 2 (2021)
Authors:Orien Effendi First page: 180 Abstract: Expressing opinions is a human right that every citizen has. The freedom to express opinions through thoughts orally, in writing, and so on, has been mentioned in the 1945 Constitution and the Universal Declaration of Human Rights. From historical perspective, the birth of freedom of opinion has at least played a very large role in initiating the idea of a democratic system that is currently being implemented by the Indonesia people. However, the existence of the right to freedom of opinion with the aim of being checks and balances in the system of government in Indonesia today often creates tension when its delivery in public, often leads to chaos and the like, which of course is out of the concept of procedures for expressing opinions as mandated by law. Keywords: Human Rights; Freedom; Opinion; UUD 1945. Mengemukakan pendapat merupakan hak asasi manusia yang dimiliki setiap warga negara. Kebebasan meyampaikan pendapat melalui pikiran dengan lisan, tulisan, dan lain sebagainya, telah disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam pengamatan kacamata sejarah, lahirnya kebebasan berpendapat itu setidaknya telah berperan sangat besar mengawali gagasan sistem demokrasi yang kini diterapkan bangsa Indonesia. Namun keberadaan hak kebebasan berpendapat dengan tujuan sebagai checks and balances sistem pemerintahan di Indonesia dewasa ini seringkali menimbulkan ketegangan ketika penyampaiannya dimuka umum, tidak jarang berujung kericuhan dan sejenisnya, yang tentu saja hal tersebut sudah keluar dari konsep tata cara penyampaian pendapat sebagaimana amanat undang-undang.Kata Kunci: Hak Asasi Manusia; Kebebasan; Pendapat; UUD 1945. PubDate: 2021-12-19 DOI: 10.33369/jsh.30.2.%p Issue No:Vol. 30, No. 2 (2021)