Open Access journal ISSN (Print) 0854-8722 - ISSN (Online) 2443-0757 This journal is no longer being updated because: the publisher no longer provides RSS feeds
Authors:Sri Turatmiyah, Joni Emirzon, Annalisa Y, Haniyatul Husna binti Md Mohtar Abstract: Abstract: This article examines the ineffective of the mediation process in divorce disputes at the Palembang Religious Court during the period from 2020 to 2022. Data was collected through observations, documentation, and interviews with litigants and judges involved in divorce cases at the Palembang Religious Court. Relying on the legal effectiveness theory, the study found that over a span of three years (2020, 2021, and 2022), the Palembang Religious Court successfully mediated only 33 divorce disputes (0.45%) out of a total of 7,338 cases. This indicates that mediation of divorce disputes at the court has not been effectively implemented. The article also reveals several factors contributing to this ineffectiveness, including (1) the complex background and reasons for the parties involved in the disputes, (2) an imbalance between the number of mediator judges and the number of cases brought to the court, (3) a lack of good faith on the part of the parties to engage in the mediation process, (4) inadequate resources and facilities, and (5) a low legal culture and poor legal awareness among the litigants. These findings reinforce the results of previous research on the ineffectiveness of mediation in divorce lawsuits in various courts across Indonesia.Abstrak: Artikel ini mengkaji problem tidak efektifnya proses mediasi sengketa perceraian di Pengadilan Agama Palembang selama rentang waktu 2020 hingga 2022. Data dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara dengan sejumlah narasumber, baik yang berperkara maupun yang menangani perkara perceraian di Pengadian Agama Palembang. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun (2020, 2021 dan 2022), Pengadilan Agama Palembang hanya berhasil memediasi 33 sengketa perceraian (0.45%) dari total 7.338 sengekta perceraian. Hal ini membuktikan bahwa mediasi sengketa perceraian di Pengadilan Agama Palembang belum berjalan secara efektif. Artikel ini juga menemukan bahwa penyebab tidak efektifnya proses mediasi di Pengadilan Agama Palembang, yakni (1) kompleksnya latar belakang alasan para pihak yang bersengketa atau mengajukan perceraian, (2) tidak berimbangnya rasio jumlah hakim mediator dengan banyaknya jumlah perkara yang masuk ke pengadilan, (3) tidak adanya itikad baik dari para pihak untuk melakukan proses mediasi, (4) sarana dan fasilitas yang tidak memadai, dan (5) budaya hukum yang rendah dan minimnya pengetahuan dan kesadaran hukum di kalangan para pihak yang bersengketa. Temuan ini menguatkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang tidak efektifnya mediasi dalam sengketa perceraian di berbagai Pengadilan di Indoensia. Keywords: The effectiveness of mediation; divorce disputes; the Palembang Religious Court PubDate: 2022-12-20 DOI: 10.14421/ajish.2022.56.2.%p Issue No:Vol. 56, No. 2 (2022)
Authors:Dwi Sri Handayani Abstract: Pergeseran ta’aruf klasik yang semula secara langsung saat ini bertransformasi ke modern dengan melalui perantara media yang dipengaruhi oleh perkembangan jaman yang semakin pesat dan juga kondisi social pada masyarakat. Biro Jodoh Rumaysho merupakan salah satu Lembaga yang memfasilitasi proses ta’aruf melalui media sperti Instagram, website dan juga facebook.Penelitian ini merupakan studi lapangan (Field Research) dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum terkait perubahan social. Data yang dikumpulkan menggunakan Teknik triangulasi data yaitu dengan observasi, dokumentasi dan juga wawancara. Penelitian ini ingin melihat respon social dengan adanya biro jodoh ini kemudian pengaruh yang timbul terhadap pelaksanannya yang dianalisis menggunakan Teori Maslahah oleh Al-Ghazali.Hasil dari penelitian ini penulis melihat bahwa respon masyarakat dengan kehadiran Lembaga biro jodoh ini sangat baik dengan peningkatan pendaftar setiap tahunnya baik dari local hingga internasional. Kemudian pengaruh yang ditimbulkan lebih kepada peningkatan pemahaman akan pra dan pasca nikah karena adanya proses Pendidikan pra nikah pada Lembaga ini yang berdampak kepada kemaslahatan kesejahteraan keluarga setelah pernikahan. PubDate: 2022-08-10 DOI: 10.14421/ajish.2022.56.2.%p Issue No:Vol. 56, No. 2 (2022)
Authors:Khadijatul Musanna, Ali Sodiqin Abstract: Abstract: This article examines the debates of Indonesian scholars regarding the Gopay contract and the law of its transactions. This article attempts to answer two questions: why do the scholars have different opinions about the Gopay contract' And what are the legal consequences of these different opinions' Using a normative approach and Sharia contract theory, the following conclusions are obtained: first, scholars differ in opinion regarding the contract used in Gopay. The Fatwa Council of Al-Irsyad and Erwandi Tarmizi believe that the contract in Gopay is a qardh contract or debt. So, making transactions with the Gopay application is unlawful because it contains elements of usury (riba), namely discounts given by Gojek to customers. Muhammadiyah believe that Gopay transaction could be categorized as ijarah maushufah fi dzimmah scheme. So, making transaction with it is permissible as for other marketing. Meanwhile, Nahdlatul Ulama and DSN-MUI scholars believe that the Gopay contract as a wadi’ah (safekeeping) contract. So, making transactions with the Gopay application is permissible because the discount given by Gojek to customers or consumers is just a gift or bonus and does not include usury. This article finds that in assessing cases of modern transactions, apart from the perspective of halal and haram, contemporary scholars also seem confused as to which scheme is suitable for such transactions. Thus, in the case of Gopay, there are three schemes that appear in the opinion of scholars, namely qardh, wadī’ah, and ijarah maushufah fi dzimmah contracts.Abstrak: Artikel ini mengkaji perdebatan para ulama Indonesia terkait akad Gopay dan hukum bertransaksi dengannya. Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab dalam artikel ini: mengapa para ulama berbeda pendapat tentang akad dalam Gopay', dan apa konsekuensi hukum dari perbedaan pendapat tersebut' Menggunakan pendekatan normatif dan teori perjanjian syariah diperoleh simpulan sebagai berikut: pertama, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait akad yang digunakan dalam Gopay. Dewan Fatwa Al-Irsyad dan Erwandi Tarmizi berpendapat bahwa akad dalam Gopay adalah akad qardh atau hutang piutang sehingga melakukan transaksi dengannya adalah haram karena di dalamnya mengandung unsur riba, yakni adanya diskon yang diberikan oleh pihak Gojek kepada pelanggan atau konsumen. Muhammadiyah menyatakan bahwa Gopay merupakan skema ijarah maushufah fi dzimmah sehingga transaksinya diperbolehkan sebagaikmana transaksi muamalah lain dalam perdagangan. Sementara para ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama dan DSN-MUI memandang bahwa akad Gopay adalah akad wadi’ah (penitipan). Oleh sebab itu, melakukan transaksi dengan aplikasi Gopay adalah boleh karena diskon yang diberikan pihak Gojek kepada para pelanggan atau konsumen hanyalah sebuah hadiah atau bonus semata dan hal itu tidak termasuk riba. Artikel ini menemukan bahwa dalam menilai transaksi dalam ekonomi modern, selain dari perspektif halal dan haram, para ulama kontemporer juga tampak kebingungan untuk menilai skema yang cocok untuk transaksi tersebut. Oleh karena itu, dalam kasus Gopay, ada tiga skema yang muncul dalam penilaian ulama, yaitu akad qardh, wadi’ah, dan ijarah maushufah fi dzimmah. Keywords: Gopay Agreement; Qardh; Wadi’ah; usury; gifts; Sharia agreement
Authors:Maulidia Mulyani Abstract: Abstract: Prior to the issuance of the Constitutional Court (MK) decision Number 69/PUU-XIII/2015, some mixed-marriage couples complained about the state policy that does not allow mixed-marriage couples to own assets, both in the form of building use rights (HGB) and business use rights (HGU). This article examines a marriage agreement made by a mixed marriage couple, namely Indonesian and foreign couples after the Constitutional Court decision Number 69/PUU-XIII/2015. Two fundamental issues are the focus of this article, namely how is the legal impact of the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 on marriage agreements in mixed marriages, and what are the legal consequences of the Constitutional Court Decision' The following findings were obtained using a juridical-normative approach and utilizing Gustav Radburch's theory of the legal purpose: first, after the Constitutional Court decision the perpetrators of mixed marriages had a looser time to make a marriage agreement. They can agree before the marriage contract or during the marriage bond. Second, a marriage agreement made during the marriage period will be valid the moment after it is made, and the separation of the joint property of both parties can immediately follow it. Third, when viewed from the theory of Gustav Radburch's legal objectives, the Constitutional Court Decision has fulfilled the purpose of making law: the realization of justice, certainty, and legal expediency. However, on the other hand, the Constitutional Court ruling has also put third parties in a vulnerable position.Abstrak: Sebelum terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015, beberapa pasangan perkawinan campuran mengeluhkan kebijakan negara yang tidak memperbolehkan pasangan perkawinan campuran untuk memiliki aset, baik berupa hak guna bangunan (HGB) maupun hak guna usaha (HGU). Artikel ini mengkaji sebuah perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran, yaitu pasangan WNI dan WNA pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015. Ada dua persoalan mendasar yang menjadi fokus artikel ini, yakni bagaimana dampak hukum yang ditimbulkan dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran, dan bagaimana dampak hukum Putusan MK tersebut' Menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan memanfaatkan teori tujuan hukum Gustav Radburch diperoleh temuan sebagai berikut: pertama, pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, para pelaku perkawinan campuran memiliki waktu yang lebih longgar untuk membuat perjanjian perkawinan. Mereka bisa membuat perjanjian sebelum dilakukannya akad perkawinan ataupun selama dalam ikatan perkawinan. Kedua, perjanjian perkawinan yang dibuat dalam masa perkawinan akan berlaku sah pada saat setelah dibuat, dan hal itu bisa langsung diikuti dengan pemisahan harta bersama kedua belah pihak. Ketiga, jika dilihat dari teori tujuan hukum Gustav Radburch maka Putusan MK tersebut telah memenuhi tujuan dibuatnya hukum, yakni terwujudnya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Akan tetapi, di sisi lain, Putusan MK tersebut, juga telah menjadikan pihak ketiga berada dalam posisi rentan.Keyword: Constitutional Court Decision; legal effect: marriage agreement; mixed marriage. PubDate: 2022-06-15 DOI: 10.14421/ajish.2022.56.2.%p Issue No:Vol. 56, No. 2 (2022)
Authors:Gumilang Fuadi, Muchammad Ichsan Pages: 195 - 222 Abstract: Abstract:Utilization of nuclear energy for nuclear power plants (PLTN/NPP) has great benefits for human life and, at the same time, can also cause an enormous negative impact in the event of an accident. And it is necessary to take responsibility for nuclear losses that might occur. This article examines the liability for nuclear damage from the perspective of international conventions, Indonesian positive law, and Islamic law. This article is a normative-doctrinal study. Using a conceptual, statutory, and comparative approach, this article concludes that there are similarities regarding the principle of liability for nuclear damage in the three legal systems (international conventions, Indonesian positive law, and Islamic law), namely that both adhere to the principle of strict liability, although in Islamic law it is not stated explicitly. On the other hand, some differences between the three legal systems, especially regarding the form of liability and the amount of compensation or compensation that must be given. In international conventions and Indonesian positive law, the responsibility for nuclear damage is attached to the nuclear operator, while in Islamic law, the responsibility for losses is borne by the party carrying out the damage. As for the limit for giving compensation, international conventions and Indonesian positive law have definitively determined it, while in Islamic law, the limit for giving compensation can be determined according to several models, namely: according to mutual agreement (at-taqdīr al-ittifāqi); based on the judge's decision (at-taqdīr al-qadāi), and based on the provisions of the legislature (at-taqdīr asy-syār'i). Abstrak:Pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan umat manusia dan sekaligus juga dapat menimbulkan dampak negatif yang besar apabila terjadi kecelakaan. Oleh karena itu diperlukan pertanggungjawaban atas kerugian nuklir yang mungkin saja terjadi. Artikel ini mengkaji pertanggungjawaban kerugian nuklir dari sudut pandang konvensi internasional, hukum positif Indonesia, dan hukum Islam. Artikel ini merupakan kajian normatif-doktriner. Menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan perbandingan, artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat persamaan mengenai prinsip pertanggungjawaban kerugian nuklir dalam ketiga sistem hukum tersebut (konvensi internasional, hukum positif Indonesia, dan hukum Islam), yakni sama-sama menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), meskipun dalam hukum Islam tidak dinyatakan secara eksplisit. Di sisi lain, artikel ini juga menemukan adanya beberapa perbedaan di antara ketiga sistem hukum tersebut, terutama mengenai bentuk pertanggungjawaban dan besaran konpensasi atau ganti rugi yang harus diberikan. Dalam konvensi internasional dan hukum positif Indonesia, pertanggungjawaban kerugian nuklir melekat pada operator nuklir, sementara di dalam hukum Islam, pertanggungjawaban kerugian dibebankan kepada pihak yang melakukan tindakan kerusakan. Adapun berkaitan dengan batas pemberian ganti rugi, konvensi internasional dan hukum positif Indonesia telah menetapkannya secara definitif, sementara di dalam hukum Islam, batas pemberian ganti rugi bisa ditetapkan dengan beberapa model, yakni sesuai kesepakatan bersama (at-taqdīr al-ittifāqi); berdasarkan keputusan hakim (at-taqdīr al-qadāi), dan berdasarkan ketetapan pembuat undang-undang (al-taqdīr al-syār 'i). Keywords: Liability for nuclear damage; international conventions; Indonesian positive law; Islamic law PubDate: 2022-06-05 DOI: 10.14421/ajish.2022.56.2.%p Issue No:Vol. 56, No. 2 (2022)
Authors:Ahmad Ropei, Adudin Alijaya, Fakhry Fadhil First page: 245 Abstract: Kajian ini bertujuan mengungkap pembaruan pemikiran hukum Islam mengenai peningkatan batas usia perkawinan d Indonesia dengan mengembangkan epistemologi bayani dan burhani. Penulisan artikel ini menggunakan metode Library Research, pengumpulan data melalui studi dokumentasi, dan analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif-analisis. Hasil kajian ini mengungkap bahwa berdasarkan pengembangan epistemologi bayani yang dilakukan dengan menghadirkan nash-nash yang merujuk pada al-Qur’an surat al-Nur ayat 59 dan surat al-Nisa ayat 6 serta hadits nabi yang berhubungan dengan masalah usia perkawinan, kemudian dilakukan interpretasi kembali terhadap nash-nash tersebut secara burhani melalui penalaran rasional dengan tetap mempertimbangkan berbagai kemaslahatan dan upaya menghindari kemadharatan di bidang perkawinan, maka dihasilkan rumusan kriteria ideal mengenai peningkatan batas usia perkawian yang berada pada rentang usia 19 sampai dengan 25 tahun. Pada rentang usia tersebut seseorang telah memasuki masa dewasa awal yang dinilai memiliki kesiapan mental dan kematangan psikologis serta sudah berada pada usia baligh dan memiliki kecerdasan (rushdan) sebagai salah satu ciri kedewasaan untuk melangsungkan kehidupan rumah tangga. PubDate: 2022-12-05 DOI: 10.14421/ajish.2022.56.2.%p Issue No:Vol. 56, No. 2 (2022)