Authors:Makhrus Munajat Abstract: Abstract: The central government issued a Village Fund Direct Cash Assistance (BLT-DD) policy to help Village communities affected by the Covid-19 pandemic so they do not experience food insecurity. Even though BLT-DD has good intentions, this policy is still reaping controversy among the village community, because not all poor people affected by the Covid-19 pandemic can get this assistance. The Village Fund may not be sufficient to help all the poor, chronically ill and affected by the Covid-19 pandemic in Central Java Province. Controversy was also caused because BLT-DD would disrupt activities with wide value benefits, such as road construction, embungs, concrete rebates, bridges, development of Bumdesa, Stunting, Posyandu and PAUD to be disrupted. By using field research combined with descriptive research methods, analyzed with a maqasid al-sharia theory, the following conclusions are drawn: 1), BLT-DD has a positive effect on the social and economic conditions of the poorest, weakest and chronically ill villagers in Central Java because can help provide for their needs. 2). The implementation of BLT-DD in Central Java in general has reflected the value of justice, benefit and legal policy even though there are still some villages that are not in accordance with the technical guidelines, thus reducing the value of benefit and the value of justice, such as what happened in Pamotan District, Rembang Regency, Grobogan District, Regency Grobogan and Kaliwungu District, Kudus Regency.Abstrak: Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) untuk membantu masyarakat Desa yang terdampak pandemi covid-19 agar tidak mengalami kerawanan pangan. Meskipun BLT-DD bertujuan baik, namun kebijakan ini masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat Desa, karena tidak semua orang miskin dan terdampak pandemi covid-19 bisa mendapatkan bantuan ini. Dana Desa tidak mungkin mencukupi untuk membantu semua warga miskin, berpenyakit kronis dan terdampak pandemi covid-19 di Propinsi Jawa Tengah yang jumlahnya sangat fantastis. Kontroversi juga disebabkan karena BLT-DD akan menyebabkan kegiatan-kegiatan yang bernilai manfaat luas, seperti pembangunan jalan, embung, rabat beton, jembatan, pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa), Stunting, Posyandu dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjadi terganggu. Dalam penelitian lapangan ini,digunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif. Dari kajian yang dilakukan diperoleh temuan: pertama, BLT-DD berpengaruh positif terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa yang paling miskin, lemah dan berpenyakit kronis, di Jawa Tengah. Kedua, pelaksanaan BLT-DD di Jawa Tengah secara umum sudah mencerminkan nilai keadilan, kemanfaatan dan kebijakan hukum meskipun masih ada beberapa Desa yang belum sesuai dengan Juknis sehingga mengurangi nilai kemanfaatan dan nilai keadilan, seperti yang terjadi di Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan dan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kudus. PubDate: 2022-03-15 DOI: 10.14421/ajish.2021.55.2.%p Issue No:Vol. 55, No. 2 (2022)
Authors:Muhammad Muhajir, Qurratul Uyun First page: 263 Abstract: Abstract: This article discusses the implementation of marriage iṡbāt due to polygamy after the enactment of the Circular Letter of the Supreme Court (SEMA) Number 3 of 2018. In SEMA Number 3 of 2018, the Supreme Court no longer permitted the ratification of polygamous marriage iṡbāt, but the verdict Number 634/Pdt.G/2018/PA.Mtr granted the plea for polygamous marriage iṡbāt. The purpose of this study was to find out the ratio of decidendi in the legalization of polygamous marriage iṡbāt, whether the verdict is unlawful or a legal breakthrough. This research is a combination of normative legal research and empirical legal research with a statute approach and case approach. Research is conducted including literature research and field research. The results of this study are that the decision of case Number 634/Pdt.G/2018/PA.Mtr is granted by the Panel of Judges by setting aside SEMA Number 3 of 2018. The verdict shows a legal breakthrough that reflects progressive law on the grounding of a more important benefit than following the material law governing polygamous marriages. Realizing a sense of justice and benefit for the second series of wives as heirs to disburse the funds of the pensioner's husband is considered more maslahat by the Panel of Judges. Because her husband's pension fund was used to meet the needs of the Petitioner and their children.Abstrak: Artikel ini membahas pelaksanaan isbat nikah akibat poligami setelah berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018. Dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018, Mahkamah Agung tidak lagi memberikan izin untuk pengesahan isbat nikah poligami, namun putusan No.634/Pdt.G/2018/PA.Mtr mengabulkan permohonan isbat nikah poligami. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui ratio decidendi dalam pengabulan isbat nikah poligami, apakah putusan catat hukum atau sebagai terobosan hukum. Penelitian ini merupakan kombinasi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris dengan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Penelitian dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil penulisan ini adalah putusan perkara Nomor 634/Pdt.G/2018/PA.Mtr dikabulkan oleh Majelis Hakim dengan mengesampingkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018. Putusan tersebut termasuk sebuah terobosan hukum dengan mencerminkan hukum progesif dengan mendasarkan kemaslahatan yang lebih utama ketimbang mengikuti hukum materiil yang mengatur tentang perkawinan poligami. Merealisasikan rasa keadilan dan kemaslahatan bagi isteri siri kedua sebagai ahli waris agar dapat mencairkan dana taspen pensiunan suami dipandang lebih maslahat oleh Majelis hakim. Sebab, dana taspen pensiunan suaminya tersebut dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup Pemohon beserta keluarganya. PubDate: 2022-02-18 DOI: 10.14421/asy-syir'ah.2021.55.2.%p Issue No:Vol. 55, No. 2 (2022)
Authors:Habib Shulton Asnawi, Agus Setiawan, Iwannudin Iwannudin First page: 291 Abstract: Abstract: Indonesia has provided the institution in charge of marriage registration. However, the registration process does not always run effectively for a particular community. This article sheds light on the existence and obstacle of marriage registration faced by the followers of Sapta Darma belief in East Lampung. Data were collected through observation, documentation, and interview. Using a socio-legal lens, this article identifies consecutive facts impeding followers of the Sapta Darma belief in East Lampung from obtaining the legality of their marriages through state institutions. The organization of Sapta Darma believers has no internal institution which especially in charge of registering their marriage. They seem trapped and face a disproportionately negative stigma. Many of them do not have identity cards (KTP) as the basic term for the registration process. However, they continue to believe that their marriages are valid according to their faith and do not violate state law.Abstract: Indonesia telah menyediakan lembaga yang bertanggung jawab atas pendaftaran pernikahan. Namun demikian, proses pendaftaran pernikahan tidak selalu berjalan efektif untuk komunitas tertentu. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan dan hambatan pendaftaran pernikahan yang dihadapi oleh para pengikut Sapta Darma di Lampung Timur. Data dikumpulkan melalui pengamatan, dokumentasi, dan wawancara. Menggunakan lensa sosio-hukum, artikel ini mengidentifikasi fakta berturut-turut yang menghambat pengikut kepercayaan Sapta Darma di Lampung Timur untuk mendapatkan legalitas pernikahan mereka melalui lembaga negara. Organisasi Sapta Darma tidak memiliki institusi internal yang terutama bertugas mendaftarkan pernikahan mereka. Mereka tampak terjebak dan menghadapi stigma negatif yang tidak proporsional. Banyak dari mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) sebagai persyaratan dasar untuk pendaftaran pernikahan mereka. Namun demikian, mereka tetap percaya bahwa pernikahan mereka sah menurut keyakinan mereka dan tidak melanggar hukum negara. PubDate: 2021-10-08 DOI: 10.14421/ajish.2021.55.2.%p Issue No:Vol. 55, No. 2 (2021)
Authors:Syafaul Mudawam Pages: 315 - 334 Abstract: Abstract: This article aims to analyze an understanding of Islamic legal theories (uṣūl al-fiqh), referred to as a source and logical framework of how to answer legal problems of humankind’s response in the contemporary era. The paper employed library research to deal with Islamic principles as primary data sources. Findings that the development of uṣūl al-fiqh debate should be involved primary sources of the Islamic law, both independent sources (the Qur’an and sunnah) and dependent sources (ijmā‘, qiyās, istihsan, istiṣlah, and others). In order to answer the contemporary problems, the development of the uṣūl al-fiqh method should be evidenced by the primary objectives of Islamic law (maqāṣid al-syarī‘ah), namely, creating the public interest (maṣlaḥah) for the humanity. However, the contextualization of uṣūl al-fiqh is used by sorting out distinguishing primary sources (authentic) and derivatives sources. Such the proofs are understood to analyze for further discussion on deductive (istidlāl al-istinbāṭī) or inductive reasoning (istidlāl al-istiqrā’ī). Indeed, jurists should be carried on emphasizing the objectives and the wisdom of Islamic law (maqāṣid wa ḥikmah al-syarī‘ah) as their analysis.Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sumber dan logika operasional usul fikih dalam menjawab persoalan hukum dan kemanusiaan di era kontemporer. Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menjadikan kitab-kitab usul fikih sebagai sumber primer. Artikel ini menemukan bahwa pengembangan kajian usul fikih harus didasarkan pada sumber utamanya dalam hukum Islam, baik sumber-sumber independen (Al-Qur’an dan hadis) maupun sumber-sumber dependen (ijmā‘, qiyās, istihsan, istiṣlah, dan sebagainya). Dalam rangka menjawab problematika kontemporer, pengembangan metodologi ushul fikih harus didasarkan pada tujuan utama syari’ah (maqāṣid al-syarī‘ah), yakni menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Sementara itu, kontekstualisasi usul fikih dapat dilakukan dengan memilah dan membedakan sumber primer (autentik) dan sumber turunan (derivatif). Dalil-dalil tersebut kemudian dipahami dan dianalisis lebih lanjut melalui penalaran deduktif (istidlāl al-istinbātī) ataupun penalaran induktif (istidlāl al-istiqrā’ī). Pada pelaksanaan analisisnya, para ahli hukum Islam perlu memperhatikan dan menekankan pada aspek tujuan dan hikmah dari disyariatkannya hukum Islam (maqāṣid wa ḥikmah al-syarī‘ah). PubDate: 2021-08-31 DOI: 10.14421/ajish.2021.55.2.315-334 Issue No:Vol. 55, No. 2 (2021)
Authors:Muhammad Tahmid Nur First page: 335 Abstract: Abstract: Contextualizing the justice dimension in the law of qiṣāṣ has a humanitarian basis, so it needs to be understood under the context and development of current law. This endeavor is necessary to have a more thorough and contextual understanding of the esoteric meaning of qiṣāṣ legal justice. This article examines the contextualization of the meaning of justice in the construction of qiṣāṣ law to further elaborate on its human values, using a normative approach with philosophical analysis. This study data consisted of primary and secondary data. Based on the study analysis, it can be concluded in three points. First, the meaning of justice in Islamic law is oriented to realizing human benefit based on humanity and religious values. Justice in recompense punishment is found in the guarantee of life from God as the Lawgiver. Second, the implementation of qiṣāṣ punishment always prioritizes respect for the perpetrators' and victims' rights. This is a form of respect for human values. Third, in terms of applying punishment, the construction of qiṣāṣ law allows flexibility by contextualizing the meaning of justice to be adapted and applied in society.Abstraks: Kontekstualisasi dimensi keadilan dalam hukum qiṣāṣ pada dasarnya memiliki basis kemanusiaan sehingga ia perlu dipahami sesuai dengan konteks dan perkembangan hukum kontemporer. Upaya ini penting dilakukan agar bisa memahami makna esoteris keadilan hukum qiṣāṣ lebih komprehensif dan kontekstual. Artikel ini mengkaji kontekstualisasi makna keadilan dalam konstruksi hukum qiṣāṣ guna mengelaborasi lebih lanjut nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan analisis filosofis. Data-data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Berdasar kajian dan analisis yang telah dilakkan, diperoleh simpulan bahwa: pertama, makna keadilan dalam hukum Islam diorientasikan pada terwujudnya kemaslahatan manusia yang berlandasakan nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Keadilan dalam hukuman pembalasan yang setimpal terdapat pada jaminan garansi kehidupan dari Tuhan sebagai Pembuat Hukum. Kedua, pelaksanaan hukuman qiṣāṣ selalu mengedepankan prinsip penghormatan atas hak individual pelaku dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan wujud penghargaan terhadap nilai kemanusiaan. Ketiga, dari sisi penerapan hukumannya, konstruksi hukum qiṣāṣ memungkinkan untuk diterapkan secara fleksibel dengan mengontekstualiasikan makna keadilan untuk bisa diadaptasikan dan diterapkan di masyarakat. PubDate: 2021-10-15 DOI: 10.14421/ajish.2021.55.2.%p Issue No:Vol. 55, No. 2 (2021)